Putusan Kabulkan Permohonan Cerai Namun Suami Tak Hadiri Sidang Ikrar Talak Lewat dari 6 Bulan: Ikatan Perkawinan Tetap Utuh (?)

07/10/2025

Seluruh isi artikel yang tersedia di TanyaLawyer dibuat semata-mata untuk tujuan edukasi guna meningkatkan literasi hukum masyarakat dan bersifat umum. Jika Anda memerlukan nasihat yang lebih spesifik mengenai pertanyaan/permasalahan hukum Anda, silakan lakukan konsultasi secara langsung.

Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena (1) talak atau berdasarkan (2) gugatan perceraian. (Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam [KHI])

Dalam praktik peradilan agama dikenal istilah cerai talak yaitu apabila perceraian melalui permohonan suami; dan cerai gugat apabila pihak istri yang mengajukan perceraian.

Beberapa kasus cerai talak, salah satunya perkara yang baru saja kami tangani, di mana telah ada putusan dari pengadilan tingkat pertama dan dikuatkan oleh putusan pengadilan tingkat banding, namun putusan tersebut dianggap tidak berkekuatan hukum sebab suami tak hadiri sidang ikrar talak.

Bagaimana kehadiran suami pada sidang ikrar talak dapat mempengaruhi putusan tersebut sehingga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum? Simak penjelasannya.

Ikrar Talak Sebagai Puncak Proses Cerai Talak, Berbeda Dengan Cerai Gugat yang Dengan Putusan Inkracht Saja Cukup

Dalam Pasal 117 KHI, talak didefinisikan sebagai:

”. . .ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131.”

Apabila suami hendak menceraikan istrinya, maka proses awal yang dilakukan adalah mengajukan permohonan (bukan gugatan) kepada Pengadilan Agama.

Dalam permohonan tersebutlah ia menyebutkan alasan-alasan yang membuatnya ingin menceraikan istrinya (untuk alasan perceraian, silakan baca Pasal 116 KHI)

Catatan: Walaupun pada surat disebut permohonan cerai dengan para pihak yaitu ’pemohon’ dan ’termohon’,, dalam proses pendaftaran perkara melalui e-court, tetap diajukan melalui kanal ”gugatan”

Permohonan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggal istri, sebagaimana diatur dalam Pasal 129 KHI:

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Adapun proses akhir dalam perkara cerai talak adalah sidang ikrar talak. Berbeda dengan sidang cerai gugat, di mana puncaknya terletak pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, tanpa diperlukan adanya talak (Pasal 146 KHI):

(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka; (2) Suatu perceraian dinggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.”

Dengan kata lain, apabila suami yang mengajukan proses perceraian, maka tidak cukup dengan adanya putusan saja, melainkan harus disertai dengan ikrar talak. Pasal 71 Ayat (2) berbunyi:

Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.”

Sebelum Ikrar Talak, Putusan Harus Terlebih Dahulu Berkekuatan Hukum Tetap

Setelah ada putusan dan sebelum mengikuti sidang ikrar talak, pemohon harus menunggu terlebih dahulu hingga putusan tersebut berkekuatan hukum tetap atau in kracht van gewijsde. Yakni apabila setelah 14 (empat belas) hari berlalu, tidak ada upaya banding atau kasasi yang dilakukan.

Empat belas hari tersebut dihitung sejak putusan diucapkan atau setelah putusan tersebut disampaikan kepada pihak yang tidak hadir, hal ini berdasarkan:

Pasal 179 ayat (1) dan (2) HIR:[1]

(1) Setelah putusan dibuat dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, maka pihak-pihak dipanggil masuk kembali dalam ruang persidangan dan kemudian putusan tersebut oleh Ketua diucapkan di hadapan umum, (2) Jika pihak-pihak atau salah satu di antaranya tidak hadir pada pengucapan putusan tersebut, maka atas perintah Ketua, isi putusan itu diberitahukan kepadanya oleh seorang pegawai yang berwenang untuk itu.

RBg Pasal 199 ayat (1):[2]

Dalam hal-hal yang dimungkinkan adanya naik banding terhadap putusan-putusan Pengadilan Negerim maka pernyataan bahwa akan digunakan upaya itu disampaikan kepada Panitera, bila dikehendaki disertai dengan risalah banding dan surat-surat lain yang dianggap perlu oleh pembanding atau oleh seorang kuasa khusus menurut cara yang dimaksud dalam kalimat kedua dari ayat pertama atau dengan suatu akta seperti tersebut dalam ayat (3) Pasal 147 – kecuali jika seorang Jaksa Kepala atau Jaksa bertindak untuk Pemerintah Indonesia sebagai Wakil Negara, yang untuk itu tidak memutuskan kuasa khusus secara tertulis dalam tenggang waktu selama empat belas hari sesudah putusan diucapkan atau jika pembanding tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, setelah pemberitahuan isi putusan tersebut kepadanya menurut Pasal 190.”

Jika putusan disampaikan secara elektronik melalui e-court, di mana para pihak tidak hadir di pengadilan ketika putusan itu diucapkan, maka yang berlaku adalah empat belas hari setelah putusan itu disampaikan kepada para pihak, bukan ketika putusan itu diucapkan.

Penghitungan waktu empat belas hari dimulai pada hari berikutnya setelah putusan diucapkan atau setelah putusan diberitahukan, dengan berpedoman pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura:

Permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berkuasa dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan.”

Kemudian empat belas hari yang dimaksud di sini adalah hari kalender, bukan hari kerja. Hal ini berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2021 dalam Rumusan Hukum Kamar Agama angka 5 huruf c, yang berbunyi:

Untuk menghitung putusan telah Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) dipergunakan hari kalender, bukan hari kerja.”

Artinya, hari libur yang jatuh dalam jangka waktu banding atau kasasi tetap diperhitungkan, sebagaimana dijelaskan dalam Himpulan Tanya Jawab tentang Hukum Perdata oleh Mahkamah Agung RI yang dikutip oleh R. Soeroso:[3]

Hari libur yang jatuh dalam jangka waktu banding (bukan pada hari terakhir jangka waktu banding) tetap diperhitungkan, hanya kalau libur/minggu itu jatuh pada hari terakhir jangka waktu banding, maka permohonan banding diperkenankan diajukan pada hari ke-15.

Suami Tak Hadiri Sidang Ikrar Talak Lewat dari 6 Bulan Setelah Putusan Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht), Ikatan Perkawinan Tetap Dianggap Utuh!

Ini bukan suatu hal tidak berdasar atau sekadar dari pengalaman penulis, melainkan telah diatur dalam Pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang berbunyi:

Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang dan menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.”

Kemudian pada Pasal 131 ayat (4) KHI dipertegas bahwa dalam kasus ini, ikatan perkawinannya tetap utuh:

Bila suami tidak mengucapkan ikrar dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.”

Dalam praktik, setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka akan ada relaas panggilan untuk menghadiri sidang ikrar talak.

Namun, jika suami tak kunjung hadir setelah lewat 6 bulan, pengadilan akan mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa putusan a quo atau yang telah mengabulkan permohonan cerai tersebut, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Footnote

[1] Tim Permata Press, RIB/HIR Reglemen Indonesia yang Diperbaharui: Penjelasannya (Permata Press, 2019), 138.

[2] R. Soeroso, Hukum Acara Perdata Lengkap & Praktis: HIR, RBg, dan Yurisprudensi (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), 164.

[3] R. Soeroso, 167.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947

Kompilasi Hukum Islam

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2021