Apakah Istri Berhak Atas Nafkah Iddah dan Mut’ah Dalam Perkara Cerai Gugat? Penjelasan Hak Ex Officio Hakim

07/11/2025

Seluruh isi artikel yang tersedia di TanyaLawyer dibuat semata-mata untuk tujuan edukasi guna meningkatkan literasi hukum masyarakat dan bersifat umum. Jika Anda memerlukan nasihat yang lebih spesifik mengenai pertanyaan/permasalahan hukum Anda, silakan lakukan konsultasi secara langsung.

Perceraian dapat diajukan baik oleh suami ataupun istri. Dalam praktik peradilan agama, apabila suami yang mengajukan perceraian, disebut cerai talak; sedangkan jika istri yang mengajukan perceraian, maka disebut cerai gugat.

Ketika suami yang menceraikan, maka nafkah iddah dan mut’ah wajib diberikan kepada istri. Hal ini sudah menjadi pengetahuan umum dalam proses perceraian.

Bagaimana jika kasusnya adalah istri yang menggugat cerai suaminya. Apakah istri tetap memiliki hak atas nafkah iddah dan mutah dalam perkara cerai gugat tersebut?

KHI Hanya Mengatur Wajibnya Nafkah Iddah dan Mut’ah Dalam Perkara Cerai Talak

Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mewajibkan suami yang telah menceraikan istrinya (cerai talak) untuk:

  1. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul;
  2. memberi nafkah, maskah, dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
  3. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al-dukhul;
  4. memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

KHI yang hanya menyinggung kewajiban untuk membayar nafkah iddah dan mut’ah dalam lingkup perkara cerai talak saja, mengindikasikan bahwa tak ada kewajiban bagi suami untuk membayar kedua hal itu dalam perkara cerai gugat.

Meski demikian, tak sedikit dari pihak istri yang merasa kebingungan dan bertanya-tanya atas kekosongan aturan dalam KHI tersebut mengenai hak nafkah bagi istri, yaitu apabila istri yang menggugat cerai suaminya (cerai gugat)

Terlebih apabila penyebab utama dari perceraian tersebut adalah suami yang misalnya menelantarkan keluarga, atau tidak memberi nafkah secara ekonomi, dan sebagainya.

SEMA Nomor 3 Tahun 2018: Jawaban Atas Hak Istri Terhadap Nafkah Iddah dan Mut’ah Dalam Perkara Cerai Gugat

Pada tahun 2018, datang kabar baik dari Mahkamah Agung melalui Surat Edarannya (SEMA) yang kemudian mengisi kekosongan hukum dalam KHI, sekaligus menjadi jawaban bagi istri atas hak-hak mereka terhadap nafkah iddah dan mut’ah dalam perkara cerai gugat.

SEMA Nomor 3 Tahun 2018 dalam Rumusan Hukum Kamar Agama huruf A angka 3 berbunyi:

Mengakomodir Perma Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, maka isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah, dan nafkah ‘iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz.”

Hal ini kemudian dapat menjadi dasar hukum bagi istri untuk meminta nafkah iddah atau mut’ah dalam perkara cerai gugat; atau pedoman bagi hakim untuk membebankan kewajiban kepada suami (atas nafkah iddah dan mut’ah istrinya) secara ex officio.

Hak Ex Officio Hakim Dalam Membebankan Nafkah Iddah atau Mut’ah

Ex officio dari bahasa latin yang memiliki padanan kata ambtshalve (bahasa Belanda) yang berarti ‘karena jabatan’. Dalam hal ini Subekti mengungkapkan hak ex officio adalah hak yang karena jabatannya, tidak berdasarkan surat penetapan atau pengangkatan, juga tidak berdasarkan suatu permohonan.[1]

Sederhananya, hakim dapat membebankan nafkah iddah dan mut’ah kepada suami atas bekas istrinya dari inisiatif hakim itu sendiri karena dianggap perlu, bahkan apabila tidak ada rekonvensi atau permintaan mengenai nafkah tersebut.

Yang kemudian menjadi landasan berlakunya ex officio ini, yaitu Putusan MA Nomor 280 K/AG/2004 tanggal 10 November 2004, dengan kaidah hukum:

Bahwa apabila telah terjadi perceraian, maka akibat perceraian harus ditetapkan sesuai dengan kebutuhan hidup minimum berdasarkan kepatutan dan keadilan, dan untuk menjamin kepastian dan masa depan anak perlu ditetapkan kewajiban suami untuk membiayai nafkah anak-anaknya.”

Dalam putusan tersebut, hakim sebagai pertimbangannya menjelaskan bahwa:

”. . .karena jumlah nilai nafkah, maskah, dan kiswah selama masa iddah yang telah ditetapkan oleh Judex Factie dipandang belum memenuhi kebutuhan hidup minimum, kepatutan dan keadilan, Mahkamah Agung memandang perlu untuk menambah jumlah nilai nafkah, maskah dan kiswah selama masa iddah tersebut, sebagaimana akan ditetapkan dalam amar putusan ini.”

Dengan demikian, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi di atas, menjadi jelas bahwa istri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan nafkah iddah dan mut’ah.

Footnote

[1] Musthofa, “Hak Ex Officio Hakim Dalam Melindungi Hak-Hak Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum (Sebagai Pihak) Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum” (Pengadilan Agama Bajawa, 24 Oktober 2022), 3.

Kompilasi Hukum Islam