Agar lebih mudah mengerti tentang unsur-unsur tindak pidana, maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai istilah-istilah terkait, yakni anasir, element, dan bestanddeel. Sangat penting untuk membedakan unsur-unsur yang tertulis/dirumuskan pada pasal dan yang tidak tertulis.
Anasir adalah istilah lain dari unsur, begitu juga dengan element yang berasal dari bahasa Belanda dan Inggris, yang memiliki arti, ”Bagian yang diperlukan atau khas dari sesuatu; salah satu dari beberapa bagian yang dimiliki sesuatu.” [1]
Sedangkan bestanddeel adalah unsur tertulis dalam rumusan/uraian delik/tindak pidana. Yang mana menurut Van Bemmelen, bestanddeel adalah bagian inti yang tertulis dalam undang-undang.[2]
Jika melihat pengertian di atas, maka diketahui bahwa unsur/anasir/element itu klasifikasi alias cakupannya lebih luas daripada bestanddeel. Jika element itu dapat tertulis dan tidak tertulis, sedangkan bestanddeel sudah pasti merupakan unsur yang tertulis pada pasal terkait tindak pidana.
Lalu, bagaimana praktik dari penerapan unsur tindak pidana pada pasa-pasal? Artikel ini juga akan memberikan contohnya.
Unsur Objektif dan Subjektif
Delik atau tindak pidana mempunyai sejumlah elemen atau unsur yang terdiri atas dua elemen dasar, yakni (1) unsur objektif, dan (2) unsur subjektif.[3]
1.Unsur Objektif
Unsur objektif, yakni unsur-unsur yang terdapat di luar manusia, yaitu yang berupa perbuatan/tindakan, akibat tertentu, atau keadaan di mana tindakan/perbuatan tersebut dilakukan. Perbuatan atau akibat yang ditimbulkan itu bertentangan dengan hukum positif atau dilarang dalam peraturan perundang-undangan sehingga merupakan perbuatan melawan hukum.
Contoh unsur perbuatan/tindakan: Mengambil barang, memalsu tanda tangan, memalsu surat, dan lain-lain.
Contoh unsur akibat: Hilangnya nyawa, terbakarnya suatu rumah, rusaknya suatu barang, dan lain-lain.
Contoh unsur keadaan yang melekat pada perbuatan: Pencurian ”di waktu malam”, pencurian ”pada waktu bencana”, dan lain-lain.
2.Unsur Subjektif
Yakni unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk keadaan pelaku, misalnya unsur berupa kualitas si pelaku.
Contoh unsur kualitas si pelaku: Seorang pegawai negeri, seorang nahkoda, dll.
Contoh unsur melekat pada diri pelaku: Dengan sengaja (opzet), dengan maksud/niat (voornemen), karena kealpaan atau kelalaian (culpa)
Bestanddeel atau Unsur yang Tertulis
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, bestanddeel merupakan bagian inti atau unsur tertulis dalam rumusan pasal tindak pidana. Jadi, hanya bagian inti atau bestanddeel itu saja yang dimuat dalam surat dakwaan dan dibuktikan di depan pengadilan.[4]
Perbedaan antara Bestanddeel dengan Element/Anasir
Bestanddeel ini dapat diterjemahkan sebagai bagian inti tindak pidana, sedangkan element diterjemahkan dengan unsur tindak pidana. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Bemmelen.
Istilah Bestanddel ini digunakan hanya jika berurusan dengan bagian-bagian perbuatan tertentu, yakni yang tercantum dalam rumusan pasal pidana.
Sementara, istilah element lebih luas (tidak harus tertulis) yakni mencakup syarat yang diperlukan bagi dapat dipidananya suatu perbuatan dan si pelaku. Syarat ini berasal dari bagian umum kitab undang-undang dan asas hukum, yakni:[5]
- perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku atau si pelaku mampu bertanggungjawab;
- perbuatan itu dapat disesalkan (dipersalahkan) pada si pelaku; dan
- perbuatan itu harus dilakukan secara melawan hukum.
Contoh Penerapan: Menentukan Unsur-unsur Tindak Pidana dalam Sebuah Pasal
Sebagai contoh untuk lebih mudah memahami perbedaan antara Bestanddeel dan Element, dapat diambil permisalan Pasal 340 KUHP yang berbunyi:[6]
“Barangsiapa yang sengaja dan dengan rencana lebih dahulu untuk merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun.”
Pada pasal tersebut, yang termasuk Bestanddeel (bagian inti/unsur tertulis) adalah:
- sengaja (unsur subjektif)
- dengan rencana lebih dahulu (unsur subjektif)
- merampas nyawa orang lain (unsur objektif)
Jadi, ada tiga unsur yang harus dimuat dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) di depan pengadilan.
Sedangkan yang termasuk element dalam Pasal 340 KUHP adalah:
- perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku atau si pelaku mampu bertanggungjawab;
- perbuatan itu dapat disesalkan (dipersalahkan) pada si pelaku; dan
- perbuatan itu harus dilakukan secara melawan hukum.
Element ini tidak tercantum dalam Pasal 340 KUHP, sehingga tidak perlu dimuat dalam surat dakwaan dan tidak perlu dibuktikan oleh JPU di pengadilan.
Kecuali pada pasal-pasal lain, salah satunya Pasal 362 KUHP di mana “melawan hukum” termasuk pada rumusan delik alias bestanddeel. Maka unsur ”melawan hukum” tersebut harus dicantumkan dalam surat dakwaan dan dibuktikan oleh JPU. [7]
Jika Tidak Perlu Dibuktikan Oleh JPU, Lalu Apa Fungsi Element?
Hal ini dijelaskan oleh S.R. Sianturi dalam bukunya ”Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”:[8]
”Bahwa jaksa memang tidak wajib atau tidak perlu untuk mencantumkan dan membuktikan unsur ”Melawan Hukum” dalam dakwaannya, apabila unsur tersebut bukanlah bestanddeel.
Bahkan jika jaksa tersebut terlalu rajin (over ijver), berarti ia memancing kesulitan-kesulitan bagi usaha pembuktiannya sendiri, selain daripada usaha itu berlebihan (overbodig).
Jika bersifat melawan hukum tidak tertulis dalam rumusan delik, dalam kesiapan jaksa untuk persidangan mahkamah, sebaiknya telah pula mempersiapkan diri, menghadapi pembelaan terdakwa atau pembelaan-pembelaannya yang akan mendalihkan sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur dari setiap delik.”
Jadi, mencantumkan unsur ”melawan hukum” atau unsur-unsur lain di luar bestanddeel dalam dakwaan, merupakan hal yang berlebihan. Namun, JPU tetap bisa bersiap-siap untuk menghadapi pembelaan-pembelaan. Yaitu hanya apabila disinggung unsur-unsur di luar bestanddeel itu pada pembelaan terdakwa.
Dalam contoh kasus, misalnya:[9]
Penasehat hukum terdakwa mengajukan kepada hakim yang mengadili bahwa unsur ”perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku” atau ”kemampuan bertanggung jawab si pelaku” tidak terpenuhi karena terdakwa ketika melakukan perbuatannya dalam keadaan terganggu jiwanya dan minta kepada hakim agar dapat diajukan ahli dokter psikiatri.
Jika ahli tersebut menjelaskan bahwa benar si pelaku pada waktu melakukan perbuatan, terganggu berat jiwanya, sehingga tidak menyadari perbuatannya dan tidak mengetahui akibat tindakannya. Maka, jika majelis hakim menerima itu, di sini terdapat alasan penghapus pidana dalam Pasal 44 KUHP sehingga putusannya ontslag van rechtsvervolging (lepas dari segala tuntutan).
Tabel Unsur-unsur Tindak Pidana
Bestanddeel/Bagian Inti Delik/Unsur Tertulis dalam Rumusan atau Uraian Delik | Element/Unsur Tidak Tertulis dalam Rumusan atau Uraian Delik | ||
Rumusan/Uraian Tindak Pidana | Ada dalam rumusan/uraian tindak pidana | Tidak ada dalam rumusan/uraian tindak pidana | |
Surat Dakwaan | Harus dimuat dalam surat dakwaan | Tidak dimuat dalam surat dakwaan | |
Pembuktian
Pembagian |
Harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum | Tidak perlu dibuktikan oleh JPU. Kecuali dibuktikan sebaliknya, jika hal itu diajukan oleh pihak terdakwa | |
Terdiri atas bagian objektif dan bagian subjektif | Syarat untuk dapat dipidananya seseorang. Ada yang berkaitan dengan perbuatannya dan atau pelakunya | ||
Bagian Objektif | Bagian Subjektif | ||
Perbuatan/tindak-tanduk/kelakuan | Pelaku (misalnya seorang ibu, pegawai negeri, nakhoda, dan lain-lain) | Perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku (toerekeningsvatbaarheid) atau si pelaku mampu bertanggung jawab | |
Akibat | Perbuatan itu dapat disesalkan (dipersalahkan) pada si pelaku | ||
Kesalahan:
Dengan sengaja, dengan maksud, kelalaian/kealpaan |
Perbuatan itu harus dilakukan secara melawan hukum | ||
Keadaan yang melekat pada perbuatan | Keadaan yang melekat pada pelaku tindak pidana |
Footnote
[1] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers, 2023), 102.
[2] Topo Santoso, 105.
[3] Topo Santoso, 102.
[4] Topo Santoso, 105.
[5] Topo Santoso, 106.
[6] “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” KUHP § (1918), ctt. Pasal 340.
[7] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 106.
[8] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: Alumni AHAEM – PETEHAEM, 2020), 153.
[9] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 107–8.