Mempelajari deelneming (penyertaan) dalam hukum pidana, akan berguna dalam menentukan peran atau ’status’ seseorang dalam tindak pidana yang dilakukan lebih dari satu orang, begitu pula menentukan pertanggungjawaban dan hukumannya. Perhatikan contoh kasus berikut:
A merencanakan mencuri barang-barang dari rumah milik Mr. Fulan. Pada malam hari, A dan B masuk ke rumah bersama-sama, mencongkel pintu, lalu mengambil dan mengangkut barang-barang elektronik ke mobil.
Rencana pencurian ini sebenarnya berasal dari C, yang sejak awal menyuruh serta meyakinkan A dan B untuk melakukan pencurian.
Untuk mengangkut barang dari rumah, A dan B memerlukan bantuan. Maka keduanya memaksa D, seorang petugas kebersihan untuk membantu mereka, yang jika tidak menuruti akan dibunuh.
Sebelum aksi dilakukan, C menemui E, seorang teman lamanya yang bekerja sebagai petugas keamanan kompleks. E berutang budi pada C, karena C pernah menolong keluarganya dalam situasi darurat.
Karena merasa tidak enak hati, E bersedia membantu dengan memberi tahu bahwa area kompleks tersebut tidak dijaga antara pukul 22.00–04.00, dan tidak akan ada patroli saat itu
Dari ilustrasi di atas, diketahui bahwa ada beberapa orang yang terlibat dalam tindak pidana pencurian.
Timbul pertanyaan:
Bagaimana hukuman akan diberikan pada A, B, C, D, dan E? Apakah semuanya dipidana dengan ancaman pidananya yang sama? Jika tidak, maka siapa yang tidak dipidana dan siapa pula yang ancaman pidananya dikurangi?
Di sinilah pentingnya memahami penyertaan (deelneming) dalam KUHP.
Definisi Deelneming (Penyertaan) Dalam KUHP
Moeljatno[1] berpendapat, dapat dikatakan bahwa ada penyertaan apabila bukan satu orang saja yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana, akan tetapi beberapa orang.
Namun perlu digarisbawahi, tidak setiap orang yang tersangkut dalam terjadinya tindak pidana dapat dipersalahkan.[2]
Dalam KUHP, sebenarnya pasal-pasal mengenai penyertaan meliputi Pasal 55-62 KUHP,[3] namun batas-batas atau definisi dari penyertaan itu sendiri dapat dilihat dari Pasal 55 dan 56.[4]
Pasal 55 ayat (1) KUHP berbunyi:
”Dihukum sebagai pelaku-pelaku tindak pidana (strafbaarfeit):
ke-1, orang yang melakukan/berbuat (pleger), yang menyuruh melakukan (doen pleger) atau turut serta melakukan perbuatan (medepleger);
ke-2, orang yang dengan pemberian, janji, penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau penipuan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menggerakkan untuk melakukan suatu perbuatan (uitlokker).”
Pasal 55 ayat (2) KUHP berbunyi:
”Terhadap doen pleger (menyuruh melakukan), hanya perbuatan yang sengaja digerakkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.”
Pasal 56 KUHP berbunyi:
”Dipidana sebagai pembantu kejahatan (medeplichtige):
ke-1, mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
ke-2, mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”
Dari pasal-pasal tersebut, didapatkan beberapa istilah kunci dalam penyertaan:
- Pleger
- Doen Pleger
- Medepleger
- Uitlokker
- Medeplichtige
Tabel istilah bentuk penyertaan:[5]

Di luar dari kelima jenis peserta tersebut menurut sistem KUHP, tidak ada peserta lain yang dapat dipidana.[6]
Bentuk-bentuk Penyertaan dalam KUHP
Pleger (Orang yang Melakukan)
Yaitu penanggung jawab peristiwa pidana atau dengan kata lain orang yang perbuatannya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan delik (bestanddeel).[7]
- Untuk rumusan delik yang disusun secara formil, maka pleger adalah orang yang melakukan perbuatan seperti yang tercantum dalam rumusan delik (yaitu tanpa memerlukan adanya akibat).[8]
- Untuk rumusan delik yang disusun secara materiil, maka pleger adalah siapa saja yang menimbulkan akibat yang tercantum dalam rumusan delik, yang harus ditentukan dengan ajaran sebab akibat (kausalitas).[9]
Disebut sebagai pleger apabila seseorang melakukan sendiri perbuatan yang mewujudkan delik dan tidak terjadi karena tipu daya atau penyesatan orang lain atau kekerasan terhadapnya yang kemudian membuatnya tidak berdaya, tidak memiliki kesalahan atau schuld (kesengajaan atau kelalaian) atau kemudian membuatnya tidak memiliki kemampuan bertanggungjawab.[10]
Pleger menjadi persoalan penyertaan, hanya jika dalam melakukan tindak pidana ada orang lain yang terlibat.[11]
Medepleger (Para Turut Serta Pelaku)
Dalam M.v.T. (Memorie van Toelichting), medeplegen didefinisikan sebagai ”rechtstreeksdeelnemen aan de uitvoering van het feit” (langsung ikut serta dalam pelaksaan perbuatan pidana).[12]
M.v.T. tidak memberi penjelasan lebih lanjut mengenai medeplegen ini. Yang kemudian dijelaskan lebih rinci dalam doktrin (pendapat para ahli pidana).
Para turut serta pelaku tindak pidana itu kemudian dibedakan menjadi dua, sebagaimana pendapat Topo Santoso,[13] serta Mustafa A. dan Ruben A.[14]:
- Para turut serta pelaku yang memenuhi seluruh unsur rumusan delik, disebut mededader (kawan pelaku);[15]
- Para turut serta pelaku yang hanya memenuhi sebagian unsur rumusan delik, disebut medepleger.
Contoh mededader:[16]
A dan B bersama-sama melakukan kejahatan pencurian dengan jalan membongkar. A membuat lubang pada dinding rumah yang akan dimasuki itu dan B masuk dari jalan lubang itu ke dalam rumah dan mengambil barang-barang dari rumah tersebut. Di sini A dan B masing-masing melakukan perbuatan yang menjadi unsur pidana pencurian dengan jalan membongkar.
Masing-masing perbuatannya A dan B tersebut sama derajatnya sebab memenuhi seluruh unsur rumusan delik. Oleh karenanya, kedua-duanya sebagai pelaku dan yang satu terhadap yang lain adalah kawan pelaku (mededader)
Contoh medeplegen:[17]
Perbuatan zina antara laki-laki dan perempuan yang salah satu di antara mereka belum kawin
Sebab menurut pasal 284 KUHP, untuk dapat dikatakan berzina, pelakunya haruslah orang yang sudah beristri atau bersuami. Jadi untuk memenuhi unsur perbuatan zina itu, pelakunya harus sudah kawin.
Bila salah satu pelakunya belum kawin, maka dia tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan zina, melainkan sebagai medepleger, karena tidak memenuhi seluruh unsur rumusan delik sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP tersebut.
Hukuman: Mededader maupun medepleger, diancam dengan pidana setinggi/semaksimal pidana pokoknya
Doen Pleger (Orang yang Menyuruh Melakukan)
Bentuk penyertan doen pleger ini terjadi sebelum dilakukannya perbuatan, yaitu orang menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan pidana.[18]
Syarat terpenting yang wajib terpenuhi untuk menyatakan seseorang sebagai doen pleger yaitu orang yang disuruh haruslah orang yang tidak dapat dipidana.
Artinya, orang yang disuruh atau pelaku langsung/materiil (manus ministra) seolah-olah hanya menjadi alat (instrumen) belaka dari orang yang menyuruh (manus domina).[19]
Pertanggungjawaban dari doen pleger dibatasi:
- tidak lebih dari yang ia memang suruh lakukan; dan
- tidak lebih dari apa yang dapat dilakukan oleh orang yang disuruh (manus ministra)
Artinya, hukuman yang dapat diberikan sebagai bentuk pertanggungjawaban doen pleger tidak lepas dari kedua batasan itu.
Jika manus ministra hanya melakukan penganiyaan dengan luka berat, yang awalnya ia disuruh untuk melakukan pembunuhan, maka doen pleger hanya dimintai pertanggungjawaban atas penganiayaan tersebut.
Adapun syarat orang yang disuruh tidak dapat dipidana adalah:[20]
- tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan, atau kemampuan bertanggungjawab;
- berdasarkan Pasal 44 KUHP
- bila ia berbuat karena daya paksa sesuai pasal 48 KUHP;
- berdasarkan pasal 51 ayat (2) KUHP, yaitu jika orang yang disuruh tersebut melakukan perintah jabatan yang ternyata berasal dari orang yang tidak berwenang, namun karena iktikad baik ia mengira bahwa perintah tersebut betul-betul diberikan oleh orang yang berwenang memberi perintah;
- orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik, sedangkan yang menyuruh memiliki kualitas tersebut,[21] misalnya Pasal 418 KUHP.
Hukuman: Diancam dengan pidana setinggi/semaksimal pidana pokoknya
Uitlokker (Penggerak/Penganjur)
Seperti halnya dengan doen pleger, penggerak (uitlokker) juga memakai seorang perantara.[22]
Perbedaan antara keduanya:
- pada uitlokking, baik penggerak maupun yang digerakkan, keduanya dapat dipidana; sedangkan
- untuk dikategorikan sebagai doen pleger, orang yang disuruh haruslah tidak dapat dipidana.
Pada uitlokking, orang yang menggerakkan disebut auctor intellectualis/intellectueel dader, sedangkan orang yang digerakkan disebut auctor materialis/materiele dader
Barda Nawawi Arief mendefinisikan uitlokker sebagai penganjur, yaitu orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang.[23]
Dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 ditentukan secara limitatif daya upaya untuk terjadinya penggerakan, sebab apabila dipergunakan daya upaya yang lain, maka bukan dikategorikan sebagai uitlokking. Daya upaya itu adalah:[24]
- memberi atau menjanjikan sesuatu;
- menyalahgunakan kekuasaan atau martabat;
- dengan kekerasan;
- memakai ancaman atau penyertaan;
- memberi kesempatan, sarana, atau keterangan
Oleh karenanya, daya upaya oleh uitlokker bersifat limitatif. Berbeda dengan doen pleger, yang caranya tidak dibatasi oleh undang-undang.
Pertanggungjawaban penggerak (Pasal 55 ayat (2)): ”Perbuatan yang sengaja digerakkannya saja” beserta ”akibat-akibatnya”.
Misal A menggerakkan B untuk menganiaya C, namun ternyata C meninggal akibat dianiaya B. Dalam kasus ini, A dapat dipertanggungjawabkan dengan Pasal 351 ayat (3) jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP yaitu penganiayaan mengakibatkan mati.
Hukuman: Penggerak dan yang digerakkan diancam dengan pidana setinggi/semaksimal pidana pokoknya
Medeplichtige (Pembantu Tindak Pidana)
Moeljatno[25] menerangkan bahwa disebut sebagai pembantuan jika terdapat (1) pembuat/yang melakukan tindak pidana dan (2) pembantu
Bentuk pembantuan ada dua:
- Pembantuan sebelum tindak pidana itu dilakukan;
- Pembantuan pada saat tindak pidana itu dilakukan.
Pada waktu tindak pidana itu dilakukan
Pasal 56 ke-1 KUHP berbunyi:
”Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan”
Pembantuan jenis ini hampir mirip dengan turut serta melakukan (medeplegen).
Pada intinya, perbedaannya:[26]
- pada pembantuan, orang yang membantu hanya melakukan peranan yang tidak penting; sedangkan
- inti turut serta adalah pada orang yang turut serta tersebut terdapat kerjasama yang erat di antara mereka untuk melakukan perbuatan pidana.
Cara yang lebih konkret untuk membedakannya juga dikemukakan oleh Roxin,[27] bahwa dalam pembantuan, si pembantu hanya membantu pada tingkat persiapan tindak pidana atau memainkan peranan selaku bawahan sehingga perbuatannya untuk pelaksanaan tindak pidana agak sekunder.
Contoh pembantuan pada saat tindak pidana dilakukan:[28]
A berniat melakukan pencurian barang-barang dari gudang milik B. Pada malam hari, A berhasil masuk ke dalam gudang, namun dia berat untuk membawa barang-barang dari gudang itu. Kemudian, dengan telepon genggam, A menghubungi teman lamanya, yaitu C yang tinggal di dekat gudang itu. C yang sudah diberitahu bahwa A berniat mencuri, namun berat membawa barang-barang hasil curian, kemudian datang membawa kendaraan dan membantu A mengangkat barang-barang itu.
Perlu digarisbawahi, bahwa dalam rumusan delik terdapat unsur subjektif ”dengan sengaja”, maka seseorang tidak bisa dikategorikan sebagai pembantu apabila karena kelalaian.
Oleh karenanya seorang yang dikatakan membantu tindak pidana haruslah melakukannya dengan sengaja, yaitu memenuhi unsur ”mengetahui” (wettens) dan ”menghendaki” (willens).
Sebelum tindak pidana itu dilakukan
Pasal 56 ke-2 KUHP berbunyi:
”Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”
Jadi terdapat daya upaya tertentu berupa dengan sengaja memberi:
- kesempatan;
- sarana;
- keterangan
Pembantuan jenis ini hampir mirip dengan penggerak/penganjur (uitlokker), sebab sama-sama dilakukan sebelum pelaksanaan tindak pidana. Bedanya:
- pada uitlokker, pemberian kesempatan, sarana, dan keterangan dilakukan sebelum orang yang digerakkan (auctor materialis) mempunyai niat/maksud/rencana melakukan tindak pidana; sedangkan
- pada pembantuan, pemberian kesempatan, sarana, atau keterangan dilakukan pada saat pelaku sudah mempunyai niat/maksud/rencana melakukan tindak pidana.
Pertanggungjawaban pembantu (Pasal 57 ayat (4)):[29]
- pembantu dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan-perbuatannya yang sengaja mempermudah atau memperlancar;
- pembantu dipertanggungjawabkan terhadap akibat-akibat yang timbul dari perbuatan si pembuat
Jika diperhatikan, terdapat kesamaan pertanggungjawaban antara pembantuan dan penggerakan, di mana ”akibat-akibat” yang ditimbulkan juga dipertanggungjawabkan.
Hukuman: Diancam dengan sepertiga dari ancaman maksimum pidana pokok, jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Tabel Perbedaan Doen Pleger (Yang Menyuruh Melakukan) dan Uitlokker (Penggerak)

Tabel Perbedaan Medeplichtige (Pembantu) dan Medepleger (Yang Turut Serta)

Tabel Perbedaan Medeplichtige (Pembantu) dan Uitlokker (Penggerak)

Penutup
Demikianlah penjelasan mengenai penyertaan (deelneming) dalam KUHP dan bentuk-bentuknya. Melalui pengetahuan tentang penyertaan tersebut, maka akan mudah untuk menjawab persoalan pada contoh kasus di awal artikel ini.
Pada contoh kasus yang dimaksud, tindak pidana yang dilakukan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (2) KUHP, yaitu pencurian di waktu malam di sebuah rumah, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dan dengan cara merusak, memotong, atau memanjat.
Di mana pada Pasal itu disebutkan bahwa ancaman pidananya paling lama sembilan tahun.

Footnote
[1] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan (Bina Aksara, 1985), 63.
[2] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 63.
[3] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 63.
[4] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana (Rajawali Pers, 2023), 379–80.
[5] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 381.
[6] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 64.
[7] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana (Ghalia Indonesia, 1983), 31.
[8] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 105.
[9] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 105.
[10] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 396.
[11] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 396.
[12] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 111.
[13] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 398.
[14] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, 31–32.
[15] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 398.
[16] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, 32.
[17] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, 32.
[18] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 123.
[19] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, 32.
[20] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 123–24.
[21] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, 33.
[22] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, 33.
[23] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 468.
[24] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 125.
[25] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 128.
[26] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 128.
[27] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 487.
[28] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 486.
[29] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, 129.

