Mengenal Asas Nullum Delictum pada Hukum Pidana di Indonesia

03/11/2024

Seluruh isi artikel yang tersedia di TanyaLawyer dibuat semata-mata untuk tujuan edukasi guna meningkatkan literasi hukum masyarakat dan bersifat umum. Jika Anda memerlukan nasihat yang lebih spesifik mengenai pertanyaan/permasalahan hukum Anda, silakan lakukan konsultasi secara langsung.

Apa yang dimaksud dengan asas Nullum Delictum atau asas legalitas? Asas ini sangat penting diketahui, mengingat merupakan asas sentral yang digunakan dalam sistem penegakan hukum Indonesia.

Perlu diketahui, bahwa apa yang akan dibahas di sini merupakan pengertian asas nullum delictum di Indonesia berdasarkan definisi dalam Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang warisan kolonial Belanda. Dan perluasannya dalam KUHP Nasional yang baru diundangkan pada 2 Januari 2023 lalu berlaku pada 2026 mendatang.

Definisi Asas Nullum Delictum

Asas legalitas atau dalam pepatah Latin disebut nullum delictum sine praevia lege poenali atau nullum delictum nulla poena sine praevia lege. Yang bermakna, “Peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam Undang-Undang tidak ada terlebih dahulu.”

Merupakan asas yang dirumuskan oleh seorang sarjana hukum pidana Jerman Bernama von Feuerbach (1775-1833). Ia merumuskan pepatah tersebut dalam bukunya berjudul: “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801).

Moeljatno (1983:25) mengatakan, asas legalitas biasanya mengandung tiga pengertian, yaitu:

  • Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang;
  • Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh dianalogikan (kiyas);
  • Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut

Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan undang-undang yang merupakan hukum tertulis lebih dahulu. Itu dengan jelas tampak dalam Pasal 1 KUHP:

  • Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam Undang-Undang, yang ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu.
  • Jikalau Undang-Undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.

Di mana dalam teks Belanda disebutkan, “wettelijke strafbepaling” yaitu aturan pidana dalam perundangan. Dengan adanya ketentuan Pasal 1 Wetboek van Strafrecht ini, konsekuensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab di situ tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis.

Perbedaan dengan KUHP Nasional terkait Asas Nullum Delictum

Hal ini berbeda dengan asas legalitas yang berlaku pada KUHP Nasional, di mana telah mengalami perluasan. Yakni dari asas legalitas formiil menuju asas legalitas materiil. Di mana dalam KUHP Nasional, bukan hanya Undang-Undang saja yang menjadi pijakan hukum atas tindak pidana seseorang, melainkan juga mencakup living law, yakni hukum yang hidup di Masyarakat.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) disebutkan:

  • Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan;
  • Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang menggunakan analogi.

Dan dalam Pasal 2:

  • Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam Masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walau pun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
  • Hukum yang hidup dalam Masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui Masyarakat bangsa-bangsa;
  • Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam Masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Untuk memperkuat keberlakukan hukum yang hidup dalam Masyarakat alias hukum adat, maka “the living law” yang dapat menjadi dasar penetapan tindak pidana tersebut, diatur dalam Peraturan Daerah. Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 2023 disebutkan:

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Hukum yang hidup dalam Masyarakat” adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup di dalam Masyarakat dalam Pasal ini berkaitan dengan hukum yang tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan Masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam Masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut.

Ayat (2)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “Berlaku dalam tempat hukum itu hidup” adalah berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana adat di daerah tersebut. Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui oleh Undang-Undang ini.

Ayat (3)

Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam Masyarakat dalam Peraturan Daerah.

Larangan Menggunakan Analogi dalam Penetapan Tindak Pidana

Yang dimaksud dengan analogi, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan atas UU Nomor 1 Tahun 2023, mengenai Pasal 1 Ayat (2) KUHP Nasional:

“Yang dimaksud dengan “analogi” adalah penafsiran dengan cara memberlakukan suatu ketentuan pidana terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak diatur ata  u tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah dengan cara menyamakan atau mengumpamakan kejadian atau peristiwa tersebut dengan kejadian atau peristiwa lain yang telah diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah”

Aturan Hukum Pidana Tidak Berlaku Surut (Mundur)

Wetboek van Strafrecht, khususnya pada Pasal 1 Ayat 1, bermakna bahwa ketentuan pidana dalam Undang-Undang tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana dalam Undang-Undang itu diadakan, yang berarti Undang-Undang tidak mungkin berlaku surut (mundur). (R. Soesilo, 1981:23)

Moeljanto (1983:31) menyatakan bahwa, dari apa yang tersebut dalam Ayat (1) Pasal 1 KUHP, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan seseorang harus diadili menurut aturan yang berlaku pada waktu perbuatan dilakukan (lextemporis delicti).

Lalu bagaimana jika setelah ‘perbuatan’ dilakukan, akan tetapi sebelum perkara diadili, ada perubahan dalam aturan hukum? Pasal 1 Ayat (2) KUHP menentukan: “Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah saat melakukan perbuatan, maka digunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa.”

Dengan ketentuan ini, maka pada lextemporis delicti di atas diadakan pembatasan, dalam arti bahwa asas itu tidak berlaku jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan dan sebelum perkara diadili. Dalam hal demikian, yang dipakai untuk mengadili adalah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.

Contoh Kasus Pengecualian pada Lextemporis Delicti

Sebagai contoh: Menurut aturan yang berlaku, pencurian diancam pidana penjara maksimum 5 tahun. Orang mencuri pada tanggal 17 September 1955. Pada waktu ia masih dalam pemeriksaan permulaan, pada tanggal 17 Oktober 1995 aturan tersebut diubah. Yaitu maksimum 5 tahun berhubung usaha untuk lebih menegakkan keamanan, dinaikan menjadi 8 tahun. Ia diadili pada tanggal 17 November 1955.

Melihat contoh di atas, aturan yang dikenakan kepada terdakwa adalah yang paling ringan, yakni aturan lama. Sebaliknya, jika perubahan aturan pada tanggal 17 Oktober 1955 itu membawa penurutan ancaman pidana, misalnya menjadi 5 tahun, maka aturan yang barulah yang harus dipakai.

Prinsip ini juga tetap diterapkan dalam KUHP Nasional. Dapat dilihat pada Pasal 3 Ayat (1):

“Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu Tindak Pidana.”

Perlu digarisbawahi, bahwa dalam Pasal 3 Ayat (1) KUHP Nasional, disebutkan “Peraturan Perundang-undangan”. Artinya, suatu perubahan diakui; baik yang terjadi pada Undang-Undang mau pun pada peraturan lain, misal seperti Peraturan Daerah yang nantinya akan menentukan living law yang dapat menjadi dasar penetapan Tindak Pidana.

Bedakan dengan Pasal 1 Ayat (2) Wetboek van Strafrecht yang hanya menyebut “Undang-Undang”, bukan “Peraturan Perundang-Undangan”.

Dalam konteks pengecualian asas legalitas—khususnya terkait aturan hukum yang tidaklah berlaku surut (mundur), apabila melihat teori materiil terbatas yang dianut oleh van Geuns, bahwa perubahan dalam Undang-Undang dalam arti kata Pasal 1 Ayat (2) KUHP (Wetboek van Strafrecht), adalah tiap-tiap perubahan sesuai dengan suatu perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat Undang-Undang,

Jadi, menurut van Geuns, tidak boleh diperhatikan suatu perubahan keadaan menurut waktu, akan tetapi teori ini dapat menerima juga perubahan di luar Undang-Undang Pidana.

Dengan kata lain, teori inilah yang menjadi alasan sebagian orang menyebut bahwa perubahan KUHP warisan kolonial Belanda menuju KUHP Nasional, merupakan peralihan dari asas legalitas formil menuju asas legalitas materiil. Sebab asas legalitas materiil juga mengakui perubahan yang terjadi di luar Undang-Undang.

Penutup

Demikian penjelasan mengenai asas nullum delictum pada hukum pidana di Indonesia. Apabila terdapat hal yang ingin Anda tanyakan, kami sangat berkenan untuk menerima pertanyaan maupun saran dari pembaca sekalian.

Punya masalah hukum terkait Pidana, Pertanahan/Wakaf, Perbankan, Bisnis, serta permasalahan hukum lainnya? Kantor Hukum Teguh Partono in syaa Allah siap memberikan pendampingan hukum secara profesional. Hubungi: 0811-811-211 (TEGUH PARTONO) untuk berkonsultasi secara langsung. Terima kasih.

Referensi:

Moeljanto, Azas-Azas Hukum Pidana, 1st ed. (Jakarta: Bina Aksara, 1983).

Republik Indonesia, KUHP 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Undang-Undang Ri No. 1 Tahun 2023 (Jakarta: Sinar Grafika, 2023).

Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politeia, 1981).