Definisi Kesengajaan (Dolus) dalam Hukum Pidana dan Gradasinya

definisi kesengajaan (dolus)

09/29/2025

Seluruh isi artikel yang tersedia di TanyaLawyer dibuat semata-mata untuk tujuan edukasi guna meningkatkan literasi hukum masyarakat dan bersifat umum. Jika Anda memerlukan nasihat yang lebih spesifik mengenai pertanyaan/permasalahan hukum Anda, silakan lakukan konsultasi secara langsung.

Seorang prajurit berpengalaman memainkan pistolnya dengan cara diputar-putar untuk pamer di muka umum, lalu tiba-tiba pistolnya meletus dan pelurunya mengenai serta menewaskan sejumlah orang di sekitarnya.

Pertanyaannya: Apakah prajurit tersebut dihukum karena kesengajaan ataukah karena kelalaian?

Catatan: Hukuman karena kesengajaan selalu lebih berat daripada karena kelalaian.

Simak artikel ini untuk mengetahui jawabannya, pertama-tama, perlu diketahui terlebih dahulu definisi kesengajaan (dolus) dalam hukum pidana.

Definisi Kesengajaan (Dolus) dan Unsurnya dalam Hukum Pidana

Kesengajaan dalam hukum pidana juga disebut dolus (Latin) atau opzet (Belanda), dan intention (Inggris).[1]

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan kesengajaan.

Meski demikian, dalam M.v.T (Memorie van Toelichting), terdapat penjelasan bahwa yang dimaksud dengan kesengajaan adalah ”menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). [2]

Lebih lengkapnya adalah willens en wetens veroorzaken van een gevolg (menghendaki dan mengetajui terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya).[3]

Sederhananya, kesengajaan itu unsurnya ada dua, pertama adalah menghendaki (willens), kedua adalah wetens (mengetahui)

Kesengajaan sebagai salah satu bentuk kesalahan (schuldvorm)

Hanya ada dua bentuk kesalahan (schuld) dalam KUHP Indonesia, yaitu:[4]

  1. Kesengajaan (dolus)
  2. Kealpaan/kelalaian (culpa)

Seseorang dapat disebut bersalah, apabila ia termasuk dalam salah satu kategori tersebut. Yaitu entah ia sengaja, atau lalai pada suatu tindak pidana.

Pembuktian kesalahan sangatlah penting, mengingat adanya asas geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan. Artinya, seseorang tidak dapat dipidana tanpa adanya kesengajaan atau minimal terdapat kelalaian.

Pembuktian terhadap kesalahan juga menentukan pemidanaan atau hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.

Hukuman terhadap tindak pidana karena kesengajaan selalu lebih berat daripada hukuman terhadap tindak pidana akibat kelalaian.

Kesengajaan Artinya Menghendaki dan Mengetahui (Willens en Wetens)

S.R. Sianturi[5] menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan willens en wettens yaitu seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsyafi (mengetahui) tindakan tersebut dan atau akibatnya.

Misal jika seseorang melakukan suatu tindakan karena ia dipaksa (ditodong), maka tidak dapat dikatakan bahwa ia melakukan perbuatan itu karena kehendaknya sendiri;

Atau seseorang yang gila berlari dengan telanjang di muka umum; atau seorang anak yang mempertunjukkan gambar-gambar porno, tidak dapat dikatakan bahwa ia mengendaki dan mengetahui perbuatan tersebut merusak kesusilaan di muka umum.

Gradasi (Tingkatan) Kesengajaan

Pembagian kesengajaan menjadi beberapa kategori didasari pada pendapat ahli pidana atau doktrin. Sebaliknya, dalam KUHP tidak akan dijumpai adanya pembagian tersebut.

Pada umumnya dolus atau kesengajaan itu dibagi menjadi tiga kategori. Sebagaimana pendapat Moeljatno,[6] S.R. Sianturi,[7] Topo Santoso.[8] Beberapa ahli juga menyebut kategori tersebut sebagai gradasi

1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (Dolus Directus)

Kesengajaan sebagai maksud artinya, terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud/tujuan dan kesadaran/pengetahuan pelaku.[9]

  • Misalnya pada delik formil: Perusakan barang pada Pasal 406 KUHP, maka perbuatan merusak itu memang merupakan maksud/tujuan dan atas kesadaran pelaku;
  • Contoh pada delik materiil: Menghilangkan nyawa seseorang pada Pasal 338 KUHP, meninggalnya seseorang itu memang adalah maksud/tujuan dan atas kesadaran pelaku.

2. Kesengajaan dengan kesadaran kepastian/keharusan

Dalam hal ini sebuah tindakan mempunyai dua akibat, yaitu:[10]

  • Akibat yang memang dimaksud/dituju oleh si pelaku (dapat berupa tindak pidana atau dapat juga bukan tindak pidana); dan
  • Akibat yang tidak dikehendaki akan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai yang dimaksud/dituju pelaku

Contoh: X menembak Y yang terlihat sedang menggendong anaknya di depannya. Peluru senapan X menembus tubuh Y sekaligus dengan anaknya. Maka X sadar/mengetahui, bahwa untuk membunuh Y peluru itu pasti juga mengenai/menembus anak dari Y.

  • Maka, pada X terhadap Y ada kesengajaan sebagai maksud; sedangkan
  • Pada X terhadap anaknya Y ada kesengajaan dengan kesadaran kepastian

3. Kesengajaan sebagai menyadari kemungkinan (Dolus Eventualis)

Kesalahan jenis ini merupakan gradasi kesengajaan terendah, yang kadang sulit untuk membedakannya dengan kelalaian/kealpaan (culpa).[11]

Pada dasarnya, dolus eventualis adalah melakukan perbuatan namun tidak menghendaki akibatnya. Walau demikian, ia sadar/mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat terlarang dari perbuatannya tersebut, namun tetap melakukannya.

Oleh karenanya, yang menjadi sandaran jenis kesengajaan ini adalah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang yang mungkin terjadi.[12]

Contoh:[13]

  • Seorang prajurit yang sudah terlatih bongkar pasang dan menggunakan senjata, kemudian mempermain-mainkan senjata itu untuk pamer, maka dapat dikatakan bahwa padanya ada kesadaran kemungkinan (dolus eventualis) akan terjadinya suatu akibat terlarang;
  • Seorang calon prajurit yang baru mengenal senjata, jika ia mempermainkan senjata itu untuk pamer, maka padanya dapat dikatakan bahwa ia harusnya dapat menduga akan kemungkinan terjadinya suatu akibat terlarang, dan ia kurang berhati-hati, ini merupakan kelalaian/culpa

Jadi, perbedaan mencolok antara dolus eventualis dan kealpaan/kelalaian yaitu:

  • Pada dolus eventualis, seseorang itu memiliki pengetahuan, pemikiran (akal), dan kebijaksanaan yang cukup untuk menduga kemungkinan terjadinya suatu akibat dari perbuatannya; sedangkan
  • Pada kelalaian, pelaku disyaratkan (1) seharusnya dapat menduga akan adanya kemungkinan dan (2) kekurang hati-hatian.

Untuk memperjelas, pada kasus kelalaian pelaku sering kali tidak mengetahui akibat dari perbuatannya, sebab kurangnya pengetahuan, pemikiran (akal), dan kebijaksanaan[14] atas akibat terlarang dari perbuatannya itu. Dan ditambah lagi pelaku kurang berhati-hati (teledor).

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesengajaan (dolus) dalam hukum pidana merupakan bentuk kesalahan yang ditandai oleh adanya unsur menghendaki (willens) dan mengetahui (wetens).

Kesengajaan dapat dibedakan menjadi tiga gradasi, yaitu kesengajaan sebagai maksud (dolus directus), kesengajaan dengan kesadaran kepastian, dan kesengajaan sebagai menyadari kemungkinan (dolus eventualis).

Kasus prajurit berpengalaman yang mempermainkan senjatanya hingga menewaskan orang di sekitarnya, menunjukkan adanya kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis), karena ia memiliki pengetahuan, pemikiran (akal), dan kebijaksanaan yang cukup untuk memahami bahwa tindakannya sangat mungkin menimbulkan akibat terlarang, namun tetap melakukannya.

Hal ini berbeda dengan kelalaian (culpa), yang lebih menekankan pada kurangnya kehati-hatian dan minimnya kesadaran akan akibat yang mungkin timbul.

Dengan demikian, pengetahuan akan definisi kesengajaan (dolus) ini begitu penting, karena apabila keliru menentukan suatu perbuatan sebagai kelalaian, maka akan berpengaruh pada pemidanaan/hukuman pelaku.

Footnote

[1] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana (Ghalia Indonesia, 1983), 40.

[2] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (Alumni AHAEM – PETEHAEM, 2020), 164.

[3] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 164.

[4] Moeljanto, Hukum Pidana: Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan (Bina Aksara, 1985), 119.

[5] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 164–65.

[6] Moeljanto, Azas-Azas Hukum Pidana, 1 ed. (Bina Aksara, 1983), 177.

[7] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 170–78.

[8] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana (Rajawali Pers, 2023), 275.

[9] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 171.

[10] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 277.

[11] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 175.

[12] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 175.

[13] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 177.

[14] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 189.