Para penegak hukum tidak dapat berbuat sewenang-wenang kepada seseorang, bahkan jika seseorang itu berstatus sebagai tersangka atau terdakwa. Hal ini tergambarkan dalam salah satu prinsip penting dalam hukum acara pidana, yakni asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).[1]
Seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah, kecuali telah ada putusan pengadilan yang tetap yang menyatakan bahwa seseorang tersebut bersalah. Hal ini tertuang dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP:[2]
”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Hak-hak Tersangka/Terdakwa Berdasarkan Asas Praduga Tak Bersalah
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman serta dalam penjelasan umum KUHAP di atas, sebagai seseorang yang belum dinyatakan bersalah, maka ia mendapat hak-hak seperti:[3]
- Hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam fase penyidikan;
- Hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan pengadilan dan mendapat putusan seadil-adilnya;
- Hak untuk diberitahu tentang apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya dengan bahasa yang dimengerti olehnya;
- Hak untuk menyiapkan pembelaan;
- Hak untuk mendapat juru bahasa;
- Hak untuk mendapat bantuan hukum; dan
- Hak untuk mendapatkan kunjungan keluarganya.
Nasib Tersangka/Terdakwa Sebelum Berlakunya KUHAP
Pada periode berlakunya HIR, tersangka/terdakwa tidak sama sekali diberikan hak dan kesempatan yang wajar untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya. Sebab sejak semula penegak hukum:[4]
- Sudah apriori menganggap tersangka/terdakwa bersalah. Seolah-olah si tersangka sudah divonis sejak saat pertama dia diperiksa di hadapan pejabat penyidik;
- Tersangka/terdakwa dianggap dan dijadikan sebagai objek pemeriksaan tanpa memperdulikan hak-hak asasi kemanusiaannya dan haknya untuk membela dan mempertahankan martabat serta kebenaran yang dimilikinya.
Akibatnya, sering terjadi dalam praktik penegakan hukum, seorang yang benar-benar tidak bersalah terpaksa menerima nasib sial, meringkuk dalam penjara
Beban Pembuktian Bukan Pada Tersangka/Terdakwa
Tidak kalah pentingnya sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah, ialah bahwa seorang terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian.
Justru karena Penuntut Umum yang mengajukan tuduhan terhadap terdakwa, maka Penuntut Umumlah yang dibebani tugas membuktikan kesalahan tersebut, dengan upaya-upaya pembuktian yang diperkenankan oleh Undang-Undang. Dalam Pasal 66 KUHAP disebutkan:
”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.”
Yang jika ditafsirkan maka nampak implikasi dari asas praduga tak bersalah ini, berupa perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang adil yang mencakup sekurang-kurangnya:[5]
- Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara (aparat penegak hukum);
- Pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana;
- Dan itu (nomor 2) dilakukan dalam sidang pengadilan yang harus terbuka (tidak boleh dirahasiakan);
- Tersangka atau terdakwa diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuhnya.
Pelaksanaan Teknis Asas Praduga Tak Bersalah: Prinsip Akusator
Menurut M Yahya Harahap,[6] asas praduga tak bersalah ditinjau dari teknis penyidikan dinamakan ”Prinsip Akusator”. Dalam setiap pemeriksaan, prinsip ini menempatkan kedudukan TERSANGKA/TERDAKWA sebagai SUBJEK.
Terdakwa/tersangka bukanlah objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri.
Sedangkan, yang menjadi OBJEK dalam prinsip akusator adalah KESALAHAN atau TINDAK PIDANA yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Ke arah itulah pemeriksaan ditujukan.
Mohammad Taufik M. dan Suhasril menegaskan dalam ”Hukum Acara Pidana: Dalam Teori dan Praktek”, bahwa:[7]
”Aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inskuisitoir, yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan sewenang-wenang.”
Footnote
[1] Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana: Dalam Teori dan Praktek (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 4.
[2] “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 § (1981), bag. Penjelasan umum butir 3 huruf c.
[3] Pedoman Pelaksanaan KUHAP: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, t.t., 6–7.
[4] Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana: Dalam Teori dan Praktek, 4.
[5] Modul Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana: Untuk Diklat Pendahuluan Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Tahun 2010 (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, 2010), 22.
[6] Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana: Dalam Teori dan Praktek, 3.
[7] Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 4.

