Asas geen straf zonder schuld adalah sebuah asas dalam hukum pidana, yang termasuk dalam bahasan Trias Hukum Pidana (masalah pokok hukum pidana). Terdiri atas:[1]
- Tindak pidana (strafbaarfeit/criminal act/actus reus)
- Kesalahan (Schuld/guilt/mens rea) atau Pertanggungjawaban Pidana (PJP); dan
- Pidana (straf/punishment/poena)
Ada pun asas ini, berkaitan dengan masalah pokok kedua, yakni kesalahan. Oleh karenanya, penting untuk mengetahui mengenai definisi kesalahan itu sendiri.
Definisi Kesalahan
Sudarto berpendapat bahwa ada tiga arti kesalahan, yakni:[2]
- Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian ”pertanggungjawaban dalam hukum pidana”. Di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat (pelaku) atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan bahwa orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya;
- Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldvorm), yaitu berupa: Kesengajaan (dolus/opzet) atau kealpaan (culpa/nalatigheid). Ini merupakan pengertian kesalahan yuridis;
- Kesalahan dalam arti sempit, yaitu kealpaan (culpa).
Dari pengertian Sudarto di sini, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan kesalahan dalam hukum pidana, tidaklah sesimpel ”salah” dalam arti telah melakukan perbuatan yang dilarang, baik secara sengaja (dolus) maupun karena kealpaan/kelalaian (culpa).
Kesalahan bukan berarti terbatas pada unsur-unsur yang disebutkan dalam rumusan delik (bestanddeel). Misalnya pada Pasal 338 KUHP:[3]
”Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Dalam pasal tersebut, ada dua unsur delik yang tertulis, yakni (1) sengaja, yang merupakan unsur subjektif, (2) merampas nyawa orang lain, yang merupakan unsur objektif.
Apabila ada orang yang membunuh orang lain dengan sengaja alias memenuhi kedua unsur di atas, maka apakah langsung dapat dipidana? Belum tentu, nah di sinilah titik awal untuk dapat memahami kesalahan atau asas geen straf zonder schuld dalam hukum pidana.
Seorang yang Memenuhi Unsur Rumusan Delik (Bestanddeel), Belum Tentu Dapat Dipidana. Mengapa?
Singkatnya, orang yang dengan sengaja membunuh tersebut, bisa jadi disebabkan gangguan psikologis (misalnya skizofrenia paranoid aktif) sehingga ia menusuk orang lain hingga tewas karena merasa orang itu adalah “makhluk jahat yang mengancam nyawanya.”
Menurut Sudarto, terdapat beberapa syarat agar seseorang itu dianggap telah melakukan kesalahan (schuld), berikut selengkapnya:[4]
- Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (schuldfahighkeit atau zurechnungsfahigkeit), artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal;
- Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian (culpa);
- Tidak adanya dasar yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Lebih Lanjut Terkait Syarat Seseorang Dianggap Melakukan Kesalahan (Schuld)
Pertama, adanya kemampuan bertanggungjawab (zurechnungsfahigkeit) yang dimaksud di atas, adalah sama dengan istilah toerekeningsvatbaarheid, perbedaannya hanya terletak pada bahasa yang digunakan. Yang pertama Jerman, kedua Belanda. Yakni keadaan psikis seseorang ketika melakukan perbuatan.
Misalnya orang dewasa yang diberikan obat atau minuman oplosan tanpa sepengetahuannya, yang akibat hal tersebut menjadi kacau kejiwaannya, lalu ia membunuh orang lain. Maka belum tentu dia dipidana, sebab tidak termasuk toerekeningsvatbaarheid.
Atau anak di bawah umur yang belum mampu membedakan yang baik dan buruk. Sebagaimana peraturan perundangan telah mengatur terkait batas umur, pada Pasal 45 KUHP jo. Pasal 21 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kedua, dolus (dari bahasa Latin) atau opzet (dari bahasa Belanda) yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sengaja atau kesengajaan. Dolus dapat dirumuskan sebagai:[5]
”Melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak.”
”Dengan sengaja” maupun ”Dengan Niat” di sini jangan disamakan dengan motif, sebab motif bukanlah unsur dari delik. Singkatnya, motif adalah suatu hal yang menyebabkan munculnya ”kesengajaan” atau ”niat” dari seseorang untuk melakukan perbuatan.
Selain ”Dengan sengaja”, dalam KUHP atau undang-undang lainnya, terdapat istilah-istilah lainnya yang dapat diartikan mengandung unsur sengaja, seperti:[6]
- Dengan niat
- Dengan maksud
- Yang diketahuinya bahwa
- Menghasut
- Dengan paksaan memasuki ruangan
- Membujuk rayu
- Membuat mabuk
Ada pun culpa, bermakna ”kesalahan” pada umumnya.[7] Karena itu asas geen straf zonder schuld juga disebut asas culpabilitas.[8] Akan tetapi dalam konteks ini, terdapat arti teknis terkait culpa, yaitu:
”Suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak sengaja sesuatu terjadi.”[9]
Dalam rumusan Pasal dapat ditemukan beberapa kata yang menunjukkan culpa, yakni:[10]
- Kealpaan/kelalaian/kesalahan/kekhilafan;
- Ada (mempunyai) alasan yang kuat untuk menduga;
- Sepatutnya/secara pantas harus menduga; dan
- Seharusnya diketahuinya/seharusnya disadarinya/dapat menyangka/ada alasan yang kuat untuk menduga.
Ketiga, alasan pemaaf. Yakni suatu hal yang bisa menghapuskan kesalahan. Seperti pembelaan terpaksa atau gangguan jiwa
Jika alasan pembenar berfokus untuk membenarkan suatu perbuatan, maka alasan pemaaf berfokus untuk menghapuskan kesalahan.
Hubungannya Dengan Pertanggungjawaban Pidana
Garisbawahi hal berikut, terkait trias hukum pidana di awal artikel. Bahwa tindak pidana berfokus pada perbuatan yang bersifat melawan hukum. Sedangkan pertanggungjawaban pidana berfokus pada pelaku.
Jadi, bahasan ”perbuatan” sifat melawan hukum itu ada pada tahapan ”tindak pidana”, bukan pada ”pertanggungjawaban pidana”
Pertanggungjawaban pidana seringkali juga disamakan dengan kesalahan (schuld). Hal ini dikarenakan definisi ”kesalahan” memiliki beberapa klasifikasi:[11]
- Dalam arti sempit, kesalahan hanya bermakna diartikan sebagai culpa, atau kesalahan pada umumnya (lihat definisi culpa di atas)
- Dalam arti yang lebih luas, kesalahan bermakna dolus (kesengajaan) dan culpa (kealpaan/kelalaian)
- Dalam arti yang seluas-luasnnya, kesalahan memiliki makna yang sama dengan pertanggungjawaban pidana.
Kesimpulan
Dapat dipahami bahwa secara umum, tanpa adanya kesalahan (schuld), seseorang tidak dapat dipidana sebab tidak memenuhi syarat-syarat pertanggungjawaban sebagai subjek hukum yang cakap/sengaja/lalai dalam melakukan suatu perbuatan melawan hukum.
Footnote
[1] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers, 2023), 246.
[2] Topo Santoso, 233.
[3] “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” KUHP § (1918), ctt. Pasal 338.
[4] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 247.
[5] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), 40.
[6] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 264.
[7] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, 43.
[8] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 247.
[9] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, 43.
[10] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 293.
[11] Topo Santoso, 233–34.