Pernahkah Anda mendengar istilah monistis dan dualistis dalam hukum pidana? Meski terdengar rumit, dua konsep ini justru menjadi kunci penting dalam hukum pidana. Baik itu mengenai tindak pidana maupun pertanggungjawaban pidana.
Apabila seseorang membaca dan membahas batasan pengertian tentang tindak dan pertanggungjawaban pidana—yang juga beririsan dengan schuld—tanpa memahami ajaran monistis dan dualistis ini terlebih dahulu, maka akan mengantarkan pada kerancuan sistematis.
Perbedaan keduanya tidak hanya bersifat teoritis, tapi berdampak langsung pada bagaimana jaksa menyusun dakwaan dan hakim memutus perkara. Menariknya, KUHP lama dan KUHP baru Indonesia menganut pendekatan yang berbeda: satu menganggap kesalahan bagian dari tindak pidana, sementara yang lain memisahkannya secara tegas.
Lalu, apa dampaknya dalam praktik di pengadilan? Artikel ini akan mengupas tuntas, dengan bahasa yang ringan namun tetap tajam secara hukum.
Tindak Pidana dalam Perspektif Monistis
Secara umum, teori monistis tidak memisahkan antara kesalahan dengan tindak pidana. Kesalahan merupakan unsur tindak pidana, yang juga merupakan unsur pertanggungjawaban pidana. Terbuktinya seluruh unsur tindak pidana dapat membuktikan tindak pidana sekaligus adanya pertanggungjawaban pidana.[1]
Schuld (kesalahan) senantiasa meliputi suatu tindak pidana, baik secara eksplisit tercantum dalam rumusan delik, maupun tidak tercantum secara spesifik.[2] Teori monistis banyak diikuti oleh beberapa ahli hukum pidana Belanda dan beberapa ahli hukum pidana di Indonesia;
Misalnya menurut Van Hammel:[3]
Bahwa tindak pidana merupakan kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Menurut Simon:[4]
Tindak pidana mempunyai unsur-unsur: Diancam dengan pidana oleh hukum, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah, dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
Menurut Utrecht,[5]
Tindak pidana ialah adanya kelakuan yang melawan hukum, ada seorang pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas kelakuannya—anasir kesalahan (element van schuld) dalam arti kata ”bertanggungjawab” (straafbaarheid van de dader”).
Dari beberapa pendapat ahli hukum pidana tersebut, jelas bahwa kesalahan termasuk ke dalam unsur tindak pidana, yakni sebagai unsur subjektif, sedangkan unsur objektifnya berupa perbuatan yang melawan hukum. Kesalahan merupakan unsur tindak pidana sebagaimana Utrecht juga menjelaskan bahwa kesalahan juga adalah unsur pertanggungjawaban pidana.
Karena kesalahan merupakan unsur tindak pidana, maka asas geen straf zonder schuld juga tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana.
Penilaian terhadap kesalahan sebagai suatu asas geen straf zonder schuld, yakni apabila dalam rumusan delik tercantum unsur kesalahan (dolus/culpa), maka penilaian dilakukan terhadap unsur tersebut (disebut sebagai unsur subjektif), yang selalu bersifat psychologis. Adapun apabila di dalam rumusan delik (bestanddeel) tidak tercantum di dalamnya unsur kesalahan, maka kesalahan yang dimaksudkan adalah yang bersifat normatif.[6]
Apabila kesengajaan tercantum secara eksplisit dalam rumusan tindak pidana dan ternyata dalam pembuktikan tidak dapat dibuktikan adanya kesalahan, maka mengakibatkan putusan bebas (vrijspraak); apabila unsur kesalahan yang tidak tercantum secara eksplisit sebagai kesalahan normatif, dan pada saat pembuktian ternyata tidak terdapat adanya kesalahan, mengakibatkan putusan lepas dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging).[7]
Terkait unsur kesalahan yang tidak tercantum dalam rumusan tindak pidana ini, yang dapat diambil sebagai contoh yaitu kasus water en melk-arrest yang diputus oleh Mahkamah Agung Belanda, pada intinya putusan pada kasus ini mempertimbangkan sebagai berikut:
”Pengadilan menetapkan bahwa fakta nyata dalam kasasi tidak dapat diganggu gugat, sehingga pada pihak terdakwa dalam pelaksanaan pelanggaran ini sama sekali tidak ada kesalahan dan oleh karena itu, dengan sewajarnya memutuskan bahwa terdakwa tidak dapat dikenai pidana dan melepaskannya dari segala tuntutan hukum. Dengan mempertimbangkan prinsip yang tegas bahwa pada perbuatan pidana yang di dalam perumusannya tidak disebutkan kealpaan sebagai unsur, maka pembuat tidak dapat dikenai pidana bilamana mengenai pihaknya diakui tidak ada kesalahan sama sekali, dan meskipun dalam KUHP tidak ditemukan, namun prinsip ini pada umumnya harus diterima dalam perkara pidana.”[8]
Putusan Mahkaamah Agung Belanda itu menyatakan pembuat dilepaskan dari segala tuntutan hukum karena tidak ada kesalahan sama sekali. Meskipun seluruh unsur tindak pidana telah terpenuhi dan di dalam rumusan tindak pidana tidak tercantum secara eksplisit unsur kesalahan, seyogianya hakim mempertimbangkan dengan menggunakan prinsip-prinsip kesalahan yang normatif.
Hakim menilai berdasarkan ciri-ciri kelakuan pembuat yang mengantarkan susu dalam keadaan sedemikian rupa, ia tidak mengetahui apabila susu yang diantarnya itu telah dicampur dengan air oleh pemilik susu. Secara normatif ia tidak dipersalahkan dan tidak dipertanggungjawabkan, dan pembuat tidak dipidana dengan putusan lepas dari segala tuntutan.[9]
Tindak Pidana dalam Perspektif Dualistis
Teori dualistis memisahkan secara tegas antara tindak pidana dan kesalahan. Kesalahan bukan unsur tindak pidana, tetapi kesalahan merupakan unsur untuk menentukan pertanggungjawaban pidana. Artinya, tindak pidana hanyalah berkaitan dengan actus reus. Sedangkan mens rea ada pada pertanggungjawaban pidana.
Mens rea selalu berkaitan dengan psychis atau mental pembuat, sedangkan actus reus senantiasa berkaitan dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum.[10]
Teori dualistis berpandangan bahwa perlu adanya pemisahan antara kesalahan dengan tindak pidana; hanya kesalahan (schuld)-lah yang merupakan unsur pertanggungjawaban pidana. Kesalahan sebagai faktor penentu dari pertanggungjawaban pidana dan dipisahkan dengan tindak pidana, maka kesengajaan sebagai unsur utama dari schuld harus dikeluarkan dari pengertian tindak pidana.[11]
Pada proses pembuktian di pengadilan, teori dualistis mengajarkan bahwa yang dibuktikan terlebih dahulu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) sebagai tindak pidana (strafbaar feit), setelah itu hakim melangkah untuk meneliti atau mempertimbangkan tentang kemampuan bertanggungjawab dan kesalahan (schuld) dari pembuat.
Jalan Tengah antara Ajaran Monistis dan Dualistis
Perbedaan antara aliran monistis dan dualistis, menurut Sudarto, tidak perlu dipertentangkan antara kedua macam perumusan delik/tindak pidana (stafbaar feit), karena keduanya sama saja. Akan tetapi, hal ini tetap penting dibahas sebab berkaitan dengan apa yang harus tercantum dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Untuk menentukan adanya pidana, kedua teori itu tidak memiliki perbedaan prinsipil. Persoalannya ialah orang yang menganut pendirian/teori itu harus konsekuen agar tidak ada kekacauan pengertian. Jadi, dalam mempergunakan istilah tindak pidana haruslah pasti bagi orang lain apakah yang dimaksudkan, adalah monistis ataukah dualistis.
Bagi orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat untuk dapat dipidana karena harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.[12]
Beberapa ahli pidana baik teori monistis maupun teori dualistis sering menggunakan istilah kesalahan sebagai unsur pertanggungjawaban dengan istilah ”kesalahan dalam arti luas” atau schuld in ruime zin. Bentuk kesalahan berupa kesengajaan dan kealpaan dengan istilah ”kesalahan dalam arti sempit” atau schuld in enge zin.
Perbedaannya hanya terletak pada bentuk-bentuk kesalahan; pada teori monistis, bentuk-bentuk kesalahan (schuldvorm) merupakan unsur tindak pidana; sedangkan pada teori dualistis, bentuk-bentuk kesalahan merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.[13]
KUHP Lama (WvS) Menganut Ajaran Monistis
Dalam praktik peradilan di Indonesia, penerapan hukum berdasarkan KUHAP dan KUHP yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia (WvS), masih menganut teori monistis yang menyatakan bahwa schuld merupakan unsur tindak pidana.[1]
Penuntut umum harus membuktikan seluruh unsur dalam bestanddeel, termasuk di dalamnya adalah unsur kesalahan yang tercantum secara eksplisit dalam rumusan tindak pidana. Selain penuntut umum harus membuktikan adanya unsur perbuatan yang melawan hukum, penuntut umum juga harus membuktikan unsur kesalahan.
Apabila unsur kesalahan tidak tercantum secara eksplisit dalam rumusan tindak pidana, maka penuntut umum tidak perlu mencantumkan unsur kesalahan dalam surat dakwaan dan tidak perlu membuktikannya.[2] Namun sebagaimana kasus water en melk (yang merupakan tindak pidana pelanggaran) yang tidak mencantumkan kesalahan secara eksplisit dalam bestanddeel,[3] hakim tetap perlu mempertimbangkan ada atau tidaknya kesalahan.
KUHP Indonesia yang masih menganut teori monistis tersebut, berdampak pada bentuk-bentuk kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan sebagai unsur tindak pidana, dan kesalahan itu merupakan kesalahan yang bersifat psychologis.[4] Kesalahan bersifat normatif apabila unsur kesalahan tidak tercantum secara eksplisit dalam rumusan tindak pidana.
Ajaran Dualistis dalam KUHP Nasional
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 atau KUHP Nasional, dapat terlihat jelas ajaran dualistis dengan tidak tercantumnya unsur/bentuk kesalahan, terutama kesengajaan (dolus) pada inti rumusan delik atau bestanddeel.
Selain itu, KUHP Nasional juga secara eksplisit melakukan pemisahan, yaitu pada Bab II mengenai Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Di mana Tindak Pidana ditempatkan pada Bagian Kesatu, kemudian Bagian Kedua mengenai Pertanggungjawaban pidana.
Suatu perbuatan sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila actus reus atau “unsur objektif” terbukti. Namun tidak serta merta seseorang itu dapat dipidana, dengan kata lain tetap harus dibuktikan mens rea atau “unsur subjektif” atau dalam hal ini adalah kesalahan (schuld) orang tersebut.
Pasal 36 KUHP Nasional berbunyi:[5]
(1) Setiap orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan;
(2) Perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Sangat penting melihat penjelasan Pasal 36 Ayat (2) KUHP Nasional yang menyatakan bahwa:[6]
Ayat (1):
”Ketentuan ini menegaskan prinsip tiada pidana tanpa kesalahan. Secara doktriner, bentuk kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kealpaan.
Ayat (2):
”Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan bahwa setiap Tindak Pidana dalam peraturan perundang-undangan harus selalu dianggap dilakukan dengan sengaja dan unsur kesengajaan ini harus dibuktikan pada setiap tahap pemeriksaan perkara.”
”Bentuk lain dari sengaja biasanya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan menggunakan istilah ’dengan maksud’, ’mengetahui’, ’yang diketahuinya’, ’padahal diketahuinya’, atau ’sedangkan ia mengetahui’.”
Hal ini menegaskan bahwa penegak hukum, khususnya penyidik dan jaksa penuntut umum tetap harus memperhatikan bahwa si tersangka/terdakwa itu memiliki kesengajaan atau tidak. Sebab, hanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang pelakunya dapat dipidana. Jadi, penyidik dalam penyidikannya tidak boleh hanya menyerahkan pada pengadilan saja terkait terpenuhinya unsur sengaja itu dengan alasan bahwa unsur sengaja bukanlah bestanddeel, melainkan hanya elementen.
Penjelasan Pasal 36 ayat (1) KUHP Nasional menyatakan, ”. . . unsur kesengajaan ini harus dibuktikan pada setiap tahap pemeriksaan perkara.” Demikian pula jaksa penuntut umum, juga harus memperhatikan dalam dakwaannya bahwa si terdakwa itu perbuatannya dilakukan dengan sengaja. Tentu dengan pengecualian jika yang dilakukan itu adalah tindak pidana kealpaan (delik culpa), dan pengecualian lain seperti pada tindak pidana yang dirumuskan secara strict liability dan vicarious liability.
Nah, pembuktian mengenai kesalahan ini, dilakukan pada tahap yang berbeda dengan pembuktian unsur tindak pidana. Di sinilah perwujudan dari ajaran dualistis, yang memisahkan antara tindak pidana dan kesalahan. Berbeda dengan ajaran monistis, di mana pembuktian terhadap kesalahan/pertanggungjawaban pidana juga termasuk ke dalam pembuktian tindak pidana.
Berbeda dengan KUHP lama, KUHP Nasional telah mencantumkan dengan tegas dan eksplisit mengenai asas geen straf zonder schuld, serta diakui sebagai prinsip yang harus dijalankan dalam proses peradilan pidana, tepatnya pada Penjelasan Pasal 36 Ayat (1) yang berada di Bab III Bagian Kedua mengenai Pertanggungjawaban Pidana.
Footnote
[1] Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, Dan Penerapannya, 2.
[2] Agus Rusianto, 32.
[3] Agus Rusianto, 129–30.
[4] Agus Rusianto, 64.
[5] Indonesia, KUHP 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Undang-Undang Ri No. 1 Tahun 2023, sec. Pasal 36 Ayat (1) dan (2).
[6] Topo Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana, 256.
[1] Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, Dan Penerapannya, 14–15.
[2] Agus Rusianto, 2.
[3] Agus Rusianto, 2.
[4] Agus Rusianto, 3.
[5] Agus Rusianto, 3.
[6] Agus Rusianto, 29.
[7] Agus Rusianto, 131.
[8] Agus Rusianto, 102.
[9] Agus Rusianto, 102–3.
[10] Agus Rusianto, 16.
[11] Agus Rusianto, 16.
[12] Topo Santoso, Asas-asas Hukum Pidana, 101.
[13]Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, Dan Penerapannya, 53.

