Kesalahan adalah kunci dalam menentukan apakah seseorang benar-benar bisa dipidana atau tidak. Tapi, bagaimana sebenarnya hukum memandang kesalahan? Apakah cukup hanya dengan membuktikan bahwa seseorang berniat jahat? Ataukah ada hal-hal lain yang harus diperhatikan?
Bahasan mengenai schuld, agar terhindar dari kerancuan pemahamaan, selain menyinggung perbedaan antara aliran monistis dan dualistis, juga tak lepas dari penjabaran ajaran kesalahan (schuld) psikologis dan normatif.
Ajaran Kesalahan Psikologis
Kesalahan dalam arti pertama ini dipandang sebagai hubungan psikologis (batin) antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
Pada kesengajaan, hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian.
Ajaran kesalahan psikologis umumnya merujuk pada kenyataan bahwa kesalahan merupakan bagian inti tindak pidana (bestanddeel) yang isinya adalah keadan psikologis pembuat ketika melakukan tindak pidana.
Berdasarkan teori monistis yang menyertakan kesalahan sebagai unsur tindak pidana, serta memungkinkan bentuk kesalahan tersebut secara eksplisit ada pada bestanddeel:
Maka apabila kesalahan yang dimaksud adalah yang tercantum dalam bestanddeel, dalam hal ini, selalu yang berlaku adalah kesalahan psikologis, bukan normatif.
Sebagai bagian inti dari rumusan delik, maka JPU wajib membuktikan kesalahan (dolus/culpa) ini dan menuliskannya dalam surat dakwaan.[1]
Ajaran Kesalahan Normatif
Berbeda dengan kesalahan bersifat psikologis, kesalahan normatif tidak hanya menentukan kesalahan berdasarkan sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dan perbuatannya (dolus & culpa),
Tetapi juga harus ada unsur penilaian dari luar mengenai hubungan antara si pembuat dengan perbuatannya. Dalam implementasinya di pengadilan, yang memberi penilaian akhir adalah hakim.
Sudarto secara tegas menjelaskan sebagai berikut:
”. . . Kesalahan seseorang tidaklah didapatkan dalam kepala si pembuat, melainkan di dalam kepala orang-orang, ialah di dalam kepala dari mereka yang memberi penilaian terhadap si pembuat itu. Yang memberi penilaian pada instansi terakhir adalah hakim.”[2]
Dalam pengertian ini, sikap batin si pembuat berupa dolus dan culpa tetap diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur dari kesalahan. Maksudnya ialah, terdapat unsur lain yaitu penilaian mengenai keadaan (1) jiwa si pembuat, (2) kemampuan bertanggungjawab dan (3) tidak adanya alasan pemaaf.[3]
Misalnya seseorang memenuhi unsur kesalahan psikologis, yaitu dolus atau culpa, namun dalam penilaian kesalahan normatif, ditemukan fakta bahwa ia berumur kurang dari dua belas tahun, atau menderita penyakit jiwa, maka ia tetap tidak dapat dipidana.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman mengenai schuld atau kesalahan tidak dapat dilepaskan dari dua pendekatan utama, yakni ajaran kesalahan psikologis dan ajaran kesalahan normatif.
Ajaran kesalahan psikologis menitikberatkan pada hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya, dan kesalahan diartikan secara sempit sebagai dolus atau culpa.
Sementara itu, ajaran kesalahan normatif memandang bahwa kesalahan tidak hanya terbatas pada kondisi psikologis pelaku, tetapi juga melibatkan penilaian yuridis atas kelayakan untuk memidana, yang mencakup kemampuan bertanggung jawab dan ketiadaan alasan pemaaf.
Footnote
[1] Topo Santoso, 243.
[2] Topo Santoso, 240.
[3] Topo Santoso, 240.

