Hubungan Perikatan dan Perjanjian dalam Hukum Perdata

hubungan perikatan dan perjanjian

03/22/2024

Seluruh isi artikel yang tersedia di TanyaLawyer dibuat semata-mata untuk tujuan edukasi guna meningkatkan literasi hukum masyarakat dan bersifat umum. Jika Anda memerlukan nasihat yang lebih spesifik mengenai pertanyaan/permasalahan hukum Anda, silakan lakukan konsultasi secara langsung.

Apa hubungan perikatan dan perjanjian dalam hukum perdata? Sering mendengar istilah tersebut? Namun apakah kita paham mengenai perbedaan antara keduanya?

Anda membaca artikel yang tepat, berikut penjelasan lengkap terkait perikatan dan perjanjian. Selamat membaca!

Dua Istilah Penting Perihal Hubungan Perikatan dan Perjanjian: Verbintenis dan Overeenkomst

Agar tidak bingung, sebelum membaca lebih jauh ke bawah, ada baiknya para pembaca memahami terlebih dahulu istilah-istilah berikut.

Dalam konteks penggunaan bahasa Belanda untuk Perikatan dan Perjanjian pada Burgelijk Wetboek (sumber KUH Perdata Indonesia), berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkannya. Istilah yang dimaksud adalah “Verbintenis” dan “Overeenkomst”:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah Perikatan untuk “Verbintenis” dan Persetujuan untuk “Overeenkomst”;
  2. Utrech, dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perutangan untuk “Verbintenis” dan Perjanjian untuk “Overeenkomst”;
  3. Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB menterjemahkan “Verbintenis” dengan Perjanjian dan “Overeenkomst” dengan Persetujuan.

Dari ketiga terjemahan yang berbeda itu, dapat diketahui bahwa ternyata untuk “Verbintenis” dikenal dengan tiga istilah dalam bahasa Indonesia, yaitu: Perikatan, Perutangan, dan Perjanjian. Sedangkan untuk “Overeenkomst” dipakai dua istilah: Perjanjian dan Persetujuan.

Setiawan (1977:1) mengatakan bahwa verbintenis berasal dari kata kerja “verbinden” yang artinya mengikat. Jadi, verbintenis menunjuk kepada adanya “ikatan” atau “hubungan”. Hal ini memang sesuai dengan definisi verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut, lebih tepat apabila memakai istilah “perikatan” untuk menerjemahkan verbintenis.

Overeenkomst berasal dari kata kerja “Overeenkomen” yang artinya “setuju” atau “sepakat”. Jadi “overeenkomst” mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW (KUH Perdata). Oleh karena itu, istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berlandaskan alasan tersebut, lebih tepat untuk menggunakan istilah “persetujuan” dalam mengartikan overeenkomst.

Definisi Perikatan

        Hasim Purba (2022:2) mengatakan, perikatan dapat diartikan sebagai suatu hubungan hukum antara satu orang atau satu pihak dengan satu orang atau pihak lain yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Para pihak ini adalah subjek hukum yang membuat dan terikat dengan perikatan tersebut.

Tiap-tiap perikatan dilahirkan oleh perjanjian atau karena Undang-Undang (vide Pasal 1233 KUH Perdata)

Menurut R Setiawan (1977:2) sekali pun Buku III BW mempergunakan judul “Tentang Perikatan”, namun tidak satu pasal pun yang menguraikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan perikatan. Lebih lanjut ia mengutip Pitlo, yang mendefinisikan perikatan sebagai suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.

Sederhananya, dalam satu perikatan paling sedikit terdapat satu hak dan satu kewajiban. Agar lebih mudah dipahami, dapat disimak contoh berikut:

  1. X menitipkan sepedanya dengan cuma-cuma kepada Y, maka terjadilah perikatan antara X dengan Y yang menimbulkan hak pada X untuk menerima kembali sepeda tersebut dan kewajiban pada Y untuk menyerahkan sepeda tersebut;
  2. A menjual mobil kepada B, maka timbul perikatan antara A dan B yang menimbulkan: (a) kewajiban pada A untuk menyerahkan mobilnya dan hak pada B atas penyerahan mobil tersebut; (b) hak pada A untuk menerima pembayaran dan kewajiban pada B untuk membayar pada A.

Hubungan hukum perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan.

        Perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui hukum. Akan tetapi perlu diingat, bahwa pengingkaran terhadap hubungan-hubungan berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan, tidak akan menimbulkan akibat hukum. Misalnya janji untuk berangkat ke kampus bersama.

Jadi, sangat penting untuk dipahami, bahwa hubungan yang berada di luar lingkungan hukum bukan merupakan perikatan.

Cara mudah mengetahui suatu hubungan disebut perikatan atau bukan

        Pada mulanya, para sarjana menggunakan ukuran “dapat dinilai dengan uang”. Jika dalam suatu hubungan, kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai dengan uang.

Akan tetapi nyatanya ukuran tersebut tidak dapat memberikan pembatasan, karena dalam kehidupan masyarakat sering kali terdapat hubungan-hubungan yang sulit untuk dinilai dengan uang.

Misalnya, cacad badaniah akibat perbuatan seseorang. Sehingga dengan demikian, ukuran “dapat dinilai dengan uang” tersebut tidak lagi dipergunakan sebagai kriteria untuk menentukan adanya suatu perikatan.

Namun, walaupun ukuran tersebut sudah ditinggalkan, akan tetapi tidak berarti bahwa “dapat dinilai dengan uang” menjadi tidak relevan, karena setiap perbuatan hukum yang dapat dinilai dengan uang selalu merupakan perikatan.

Definisi Perjanjian

Pada Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih

Menurut R Setiawan (1977:49), definisi tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.

Oleh karenanya, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut:

  1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;
  2. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 BW.

Sehingga selengkapnya menjadi, “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perikatan”, pada Bab III tentang Perikatan, R. Setiawan menggunakan kalimat “Perikatan yang Terjadi Karena Persetujuan”.

Kemudian dapat dipahami lebih baik dengan membaca penjelasan dari Hasim Purba (2022:3) bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber-sumber lain.

Yakni sebagaimana dijelaskan R. Setiawan (2022:13) bahwa sumber perikatan ada tiga, yaitu: (1) perikatan yang bersumber pada perjanjian; (2) perikatan yang timbul dari Undang-Undang saja; dan (3) perikatan yang timbul dari Undang-Undang akibat perbuatan manusia, yang bisa jadi berupa perbuatan halal dan perbuatan melawan hukum (vide 1352 BW dan seterusnya).

Bagaimana Hubungan Perikatan dan Perjanjian?

Dari definisi perikatan dan perjanjian di atas, dapat dikatakan bahwa perikatan itu mempunyai ruang lingkup alias berada dalam taqsim (klasifikasi) yang lebih luas daripada perjanjian. Perikatan belum tentu timbul karena perjanjian, sedangkan pada perjanjian sudah pasti timbul di dalamnya perikatan.

Terdapat tiga persamaan antara perikatan dan perjanjian, yakni:

  1. Sama-sama melibatkan para pihak dan harta kekayaan;
  2. Para pihak melakukan kesepakatan dan saling mengikatkan diri untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
  3. Dalam perikatan dan perjanjian terdapat asas-asas yang sama.

Penutup

Demikian penjelasan mengenai hubungan perikatan dan perjanjian. Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa penting untuk memahami terlebih dahulu penggunaan bahasa Belanda dalam BW untuk perjanjian dan perikatan untuk kemudian mencegah kita dari kebingunan dalam memahami kedua istilah yang sering kita temui dalam BW atau KUH Perdata ini.

Penting juga untuk membaca penjelasan dari para ahli yang kredibel dan saling membandingkannya, agar kita tidak tersesat dalam memahami perbedaan mau pun persaamaan antara perjanjian dan perikatan, serta hubungan antara keduanya.

Demikian artikel kali ini, semoga bermanfaat, sampai jumpa di artikel-artikel bermanfaat lainnya.

Referensi

R Subekti dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek): Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, 19 ed. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985).

R Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan (Bandung: Binacipta, 1987).

Hasim Purba, Hukum Perikatan & Perjanjian, 1 ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2022).