Lengkap! Pengertian Asas Perjanjian dan Macam-Macamnya

asas perjanjian

03/25/2024

Seluruh isi artikel yang tersedia di TanyaLawyer dibuat semata-mata untuk tujuan edukasi guna meningkatkan literasi hukum masyarakat dan bersifat umum. Jika Anda memerlukan nasihat yang lebih spesifik mengenai pertanyaan/permasalahan hukum Anda, silakan lakukan konsultasi secara langsung.

Asas perjanjian merupakan hal sentral yang perlu diketahui bagi siapa pun yang hendak membuat sebuah perjanjian, maupun bagi lawyer yang banyak menangani kasus keperdataan. Berbagai macam asas tersebut menjadi dasar bagi setiap perjanjian, yang kemudian menimbulkan perikatan bagi para pihak di dalamnya. Lalu apa saja kah yang termasuk sebagai asas perjanjian? Simak artikel berikut inI!

Definisi Asas Perjanjian

Asas merupakan dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan dalam berpikir atau berpendapat. Principle menurut Black’s Law Dictionary adalah, “A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others,” Yang esensi maknanya, asas adalah ajaran atau kebenaran yang mendasar untuk pembentukan aturan hukum yang menyeluruh.

Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan: “Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Menurut Subekti, Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Pentingnya Mengetahui Asas Perjanjian

Henry P. Panggabean (2023) menyatakan bahwa pengkajian asas perjanjian memiliki peranan penting untuk memahami berbagai Undang-Undang mengenai sahnya perjanjian. Perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan Undang-Undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang berkaitan dengan masalah tersebut.

Asas-asas hukum perjanjian juga berfungsi sebagai fundamen filosofis yang keberadaanya conditio sine quanon bagi norma-norma hukum dalam aturan hukum kontrak tersebut, yang bertujuan memberikan arahan yang layak atau pantas menurut hukum (rechmatig) dalam membuat kontrak-kontrak.

Asas-asas hukum perjanjian juga berfungsi sebagai pedoman filosofis bagi pembentukan norma-norma hukum dalam kontrak dan pedoman dalam menyelesaikan kasus-kasus kontraktual.

Asas-asas perjanjian sangat perlu dikaji ulang untuk lebih mudah memahami berbagai ketentuan Undang-Undang mengenai sahnya suatu perjanjian. Suatu perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan Undang-Undang akan lebih mudah dipahami setelah memahami asas berkenaan.

Asas-Asas Perjanjian

Asas Kebebasan Berkontrak

       Yakni asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meski pun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum, Namun memiliki pengaruh yang kuat dalam hubungan kontraktual para pihak.

Kebebasan berkontrak padaa dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu.

Kebebasan dalam hukum kontrak memiliki makna kebebasan berkontrak yang postifi dan negatif. Positif maksudnya bahwa para pihak memiliki kebebasan untuk membuat kontrak yang mengikat dan mencerminkan kehendak bebas para pihak. Sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa para pihak bebas dari suatu kewajiban sepanjang kontrak yang mengikat itu tidak mengaturnya.

Asas ini bersifat universal, dengan kata lain, dianut oleh semua negara; baik yang menganut system hukum civil law, common law, maupun sistem hukum lainnya.

Sultan Reny Sjahdeni menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak sebagai berikut: (1) Kebebasan untuk membuat kontrak atau tidak membuat perjanjian; (2) Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ingin membuat perjanjian; (3) Kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya; (4) Kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian; (5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian; dan (6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-Undang yang bersifat opsional.

Dengan asas kebebasan berkontrak ini, dapat tercipta perjanjian-perjanjian baru di luar jenis-jenis perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata.

Namun perlu digarisbawahi bahwa terdapat pembatasan dari asas ini, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1337 KUH Perdata:

Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum

Pasal tersebut melarang suatu kontrak substansinya bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban, dan kesusilaan. Di negara-negara dengan sistem common law, kebebasan berkontrak juga dibatasi melalui peraturan perundang-undangan dan public policy.

Asas Pacta Sunt Servanda

Pacta sunt servanda, secara harfiah, berarti bahwa perjanjian itu mengikat atau berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini diatur dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa:

Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.”

Dengan adanya asas ini, orang harus mematuhi janjinya. Kesepakatan para pihak-pihak itu mengikat sebagaimana layaknya Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.

Menurut Herlien Budiono, adagium pacta sunt servanda, diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua kontrak yang dibuat manusia satu sama lain, mengingat kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataannya.

Asas Konsensualisme

Berasal dari kata Latin consensus yang artinya sepakat. Dalam membuat kontrak, harus didasari pada consensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian itu. Berdasarkan konsensualisme ini, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau consensus para pihak yang membuat kontrak

Asas ini terkandung dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata:

Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlakukan empat syarat: (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. . .”

        Yang mengharuskan adanya kata sepakat di antara para pihak yang membuat kontrak. Setiap kontrak mengikat para pihak yang membuatnya jika sudah terjadi kata sepakat mengenai prestasi atau hal pokok dari kontrak tersebut.

Kata sepakat yang dimaksud oleh hukum (vide Pasal 1320 KUH Perdata Ayat [1]), yakni cukup secara lisan saja, tidak perlu diformulasikan secara formal. Karena bagi hukum, yang terpenting adalah apa yang diucapkan secara lisan oleh orang, menunjukkan bahwa orang itu bernilai baik dan bertanggung jawab terhadap apa yang diucapkannya secara lisan.

Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat (pacta sunt servanda). Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti yang menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam pasal 1320 jo. 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai Undang-Undang.

Yakni pada situasi tertentu, di mana sebuah kontrak tidak menunjukkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya disebabkan adanya cacat kehendak (wilsgebreke), kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), atau paksaan (dwang) yang mempengaruhi timbulnya kontrak.

Asas Iktikad Baik

Makna iktikad baik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepercayaa, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik).

Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada 1981, mengartikan iktikad baik, yaitu sebagai berikut:

  1. Kejujuran pada waktu membuat kontrak;
  2. Pada tahap pembuatan ditekankan apabila kontrak dibuat di hadapan pejabat, para pihak dianggap beriktikad baik (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan keberatannya);
  3. Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut.

Asas iktikad baik merupakan asas bagi para pihak untuk melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan atau kemauanbaik dari para pihak. Hal ini sejalan dengan Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata:

Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik

Terkait dengan keberlakuan asas iktikad baik pada tahap prapembuatan kontrak, dapat dijelaskan bahwa jika pelaksanaan suatu kontrak menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar perasaan keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam suatu kontrak.

Pengujian iktikad baik harus dilakukan untuk setiap tahap kontrak, baik tahap prapembuatan (perancangan) kontrak, tahap pembuatan (penandatanganan) kontrak, dan tahap pascapembuatan (pelaksanaan) kontrak.

Asas Personalitas

Pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Sebagiamana disebutkan dalam Pasal 1315:

Pada umumnya, tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.”

Dan sebagaimana pula diatur dalam Pasal 1340:

Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi pada pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317.”

Ada pun dalam Pasal 1317 dijelaskan:

Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seseorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.”

        Dengan kata lain, asas personalitas merupakan penegasan bahwa sebuah perjanjian hanya akan memberi akibat; baik itu kerugian atau pun manfaat, dari pihak-pihak yang disebutkan dan berkonsensus dalam sebuah perjanjian. Kecuali apabila dalam sebuah perjanjian disebutkan pihak ketiga, sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata di atas.

Demikianlah pengertian asas perjanjian beserta macam-macamnya.Di samping kelima asas yang peling penting untuk diketahui tersebut, masih ada tambahan delapan asas lain yang dilahirkan dalam lokakarya hukum perikatan yang diadakan pada tahun 1995. Antara lain: (1) Asas Kepercayaan, (2) Asas Persamaan Hukum, (3) Asas Kepastian Hukum, (4) Asas Keseimbangan, (5) Asas Moral, (6) Asas Kepatutan, (7) Asas Kebiasaan, dan (8) Asas Perlindungan.

Kedelapan asas itu akan dibahas di lain kesempatan dengan detail yang tak kalah lengkap. Apabila ada yang ingin Anda tanyakan atau diskusikan, jangan sungkan untuk memberi komentar di bawah. Sekian.

Referensi:

Hasim Purba, Hukum Perikatan & Perjanjian, 1st ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2022).

H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) Sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian, 3rd ed. (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010)

R Subekti and R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek): Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria Dan Undang-Undang Perkawinan, 19th ed. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985

Niru Anita Sinaga, “Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan Tujuan Perjanjian” 7, no. 2 (2018).