Perjanjian adalah salah satu sebab timbulnya perikatan (Pasal 1313 KUH Perdata). Selain kesepakatan, dalam membuat perjanjian harus dipenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata:
- Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
- Cakap untuk membuat perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab atau causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua di atas merupakan syarat subjektif, sedangkan ketiga dan keempat adalah syarat objektif.
Jika terdapat cacat dalam syarat pertama atau kesepakatan (berupa keliru, paksaan, dan penipuan) serta tidak cakap untuk membuat perikatan, maka mengakibatkan dapat dibatalkannya persetujuan. Inilah yang kemudian dikenal sebagai alasan-alasan pembatalan perjanjian dalam KUH Perdata
Sedangkan jika objeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan (syarat ketiga) serta causa-nya tidak halal (syarat keempat), maka persetujuannya adalah batal demi hukum.
Alasan-alasan Pembatalan Perjanjian dalam KUH Perdata
Dalam Pasal 1321 KUH Perdata disebutkan: ”Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Atau lebih akrab disebut dwaling, dwang, dan bedrog.
Pasal ini menyebutkan mengenai alasan atau faktor yang dapat menimbulkan cacat kehendak dalam pembuatan perjanjian, sehingga dapat menyebabkan perjanjian tersebut dibatalkan.
Kekhilafan atau Kesesatan (Dwaling)
Jika kehendak seseorang pada waktu membuat persetujuan dipengaruhi oleh kesan/pandangan yang palsu, maka dalam hal ini terdapat kekhilafan.
Pembatalan berdasarkan kesesatan (dwaling) hanya mungkin dalam dua hal, yaitu:
- Kesesatan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan. Misalnya, membeli barang yang disangkanya antik, tapi ternyata bukan;
- Kesesatan terjadi mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan. Misalnya, mengadakan perjanjian dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi ternyata bukan
R. Setiawan mengatakan, bahwa yang dimaksud ”Hakikat barang” pada poin nomor satu, adalah sifat-sifat/ciri-ciri dari suatu barang yang bagi para pihak merupakan alasan dibuatnya perjanjian yang menyangkut barang tersebut. Sebagaimana menurut Hoge Raad, ”hakikat barang” adalah keadaan dari suatu barang yang menjadi dasar dibuatnya perikatan oleh para pihak.
Untuk dapat menggugat berdasarkan kesesatan (dwaling), maka harus dipenuhi dua syarat:
- Pihak lawan mengetahui atau seharusnya mengetahui, bahwa ia justru melakukan perbuatan itu berdasarkan ciri-ciri dan keadaan yang keliru tersebut;
- Dengan memperhatikan kondisi, bahwa pihak yang melakukan kekhilafan tersebut selayaknya dapat dan boleh membuat kekeliruan itu.
Dalam NBW (KUH Perdata baru Belanda), dwaling dijelaskan dengan lebih rinci. Bahwa suatu tuntutan (pembatalan) atas dasar dwaling hanya dapat dipenuhi bila memenuhi lima persyaratan sebagai berikut:
- Hubungan kausal antara dwaling dan terjadinya perjanjian.
Menurut Pasal 6:228 NBW, suatu perjanjian tidak akan dibuat tanpa adanya pandangan (voorstelling) yang sesungguhnya;
- Dwaling atau kesesatan harus sesuai dengan satu atau lebih dari yang disebutkan dalam uraian a, b, atau c dalam Pasal 6:228
Uraian pasal 6:NBW itu diperinci sebagai berikut:
- Penjelasan dari pihak lawan: Yakni kesesatan dari A disebabkan dari penjelasan si B. Maka, si A bisa menuntut pembatalan perjanjian jual beli itu atas dasar kesesatan.
- Pihak lawan tidak memberi penjelasan (tidak memberi keterangan yang patut diketahui)
Paksaan (Dwang)
Pasal 1324 KUH Perdata berbunyi:
”Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata, Dalam mempertimbangkan itu, harus diperhatikan usia, kelamin, dan keduduka orang-orang yang bersangkutan.”
Jelas bahwa paksaan yang dimaksud dalam KUH Perdata adalah keadaan di mana seseorang melakukan perbuatan karena takut dengan ancaman, baik diancam dengan paksaan fisik, maupun dengan cara-cara seperti misalnya akan dibocorkan rahasianya.
Perlu digarisbawahi, bahwa ancaman yang dimaksud harus berupa ancaman yang dilarang; barangsiapa yang mengancam debiturnya dengan upaya-upaya hukum yang diperkenankan, maka ia tidak melakukan perbuatan melawan hukum.
Penipuan (Bedrog)
Untuk penipuan, di pasal 1328 KUH Perdata mensyaratkan adanya tipu muslihat. Tidak cukup jika hanya kebohongan saja. Setiap penjual selalu memuji-muji barangnya, sekali pun barangnya kurang baik.
Misalnya, seseorang yang menjual mobilnya dengan mengatakan bahwa mobilnya adalah baru dan ternyata tidak, maka dalam hal ini hanya ada kebohongan; berlainan halnya jika si penjual mengubah kilometernya, menggosok mengkilat mobilnya sehingga menimbulkan kesan bahwa mobil tersebut adalah baru, maka ini adalah kebohongan yang disertai tipu muslihat.
Adanya tipu muslihat tersebut harus dibuktikan. Selengkapnya disebutkan dalam Pasal 1328:
”Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu-muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata, bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”
Penutup
Demikianlah alasan-alasan pembatalan perjanjian menurut KUH Perdata. Di mana sangat penting untuk mengetahuinya, agar setiap perjanjian yang dibuat benar-benar sah dan mengikat secara hukum.

