Politik Hukum Dan Perkembangan Pengaturan Wakaf Di Indonesia

politik hukum wakaf

10/01/2025

Seluruh isi artikel yang tersedia di TanyaLawyer dibuat semata-mata untuk tujuan edukasi guna meningkatkan literasi hukum masyarakat dan bersifat umum. Jika Anda memerlukan nasihat yang lebih spesifik mengenai pertanyaan/permasalahan hukum Anda, silakan lakukan konsultasi secara langsung.

Politik mempergunakan hukum positif (peraturan perundang-undangan) untuk mencapai tujuannya dalam arti merealisasikan ide-ide hukum tersebut. Politik dapat mengarahkan dan membentuk masyarakat kepada tujuan untuk memecahkan masalah kemasyarakatan di mana politik adalah aspek dinamis dan hukum merupakan aspek yang statis.

Politik dan hukum adalah dasar dari politik hukum dengan ketentuan bahwa pelaksanaan pengembangan politik hukum tidak bisa dipisahkan dengan pelaksaan pengembangan politik secara keseluruhan.

Atau dapat dikatakan, prinsip dasar yang dipergunakan sebagai ketentuan pengembangan politik akan juga berlaku bagi pelaksanaan politik hukum yang diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan.[1]

Definisi Politik Hukum

Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata rech dan politiek.

Padmo Wahjono (dalam Isharyanto, 2016:1) mendefinisikan politik hukum sebagai:

“Kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.”

Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya yang berjudul Menyelsik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, yang dikatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu.

Dalam hal ini, kebijakan tersebut, dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri. Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum.

Oleh karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan atau peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (politic body).[2]

Hal ini senada dengan yang disampaikan Iswantoro dalam artikelnya berjudul Politik Hukum Pembenukan dan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa peraturan perundang-undangan dalam pembentukannya dipengaruhi oleh arah kebijakan politik. Konfigurasi antara politik dan hukum menghasilkan sebuah arah pembentukan produk hukum.[3]

Menurut Soedarto (dalam Isharyanto, 2016:2-3), politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki; yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikkan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam praktiknya sering kali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum.

Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.

Dari berbagai definisi yang ada tentang politik hukum, dengan mengambil substansi yang sama di dalamnya.

Dapat dikemukakan bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.

Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.[4]

Dasar pemikiran dari berbagai definisi yang didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yang mempunyai tujuan yang harus dicapai dan tujuan itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan atau penidakberlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara.

Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat periodik. Yang bersifat permanen misalnya pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakian, dan sebagainya.

Di sini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat di dalam UUD sekaligus berlaku sebagai politik hukum.

Ada pun yang bersifat periodik adalah politik hukum yang dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap periode tertentu baik yang akan memberlakukan maupun yang akan mencabut, misalnya, pada periode 1973-1978 ada politik hukum untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi dalam bidang-bidang hukum tertentu, pada periode 1983-1988 ada politik hukum untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara, dan pada periode 2004-2009 ada lebih dari 250 rencana pembuatan UU yang dicantumkan di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).[5]

Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum

Berbicara mengenai politik hukum, tak bisa lepas dari konfigurasi politik, yakni wujud atau bentuk untuk menggambarkan kondisi politik. Kondisi perpolitikan dalam sebuah negara tergantung dari bentuk atau wujud politik apa yang dianut oleh negara tersebut.

Konfigurasi politik dapat diartikan juga sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.

Dari dua konsep inilah yang dipakai atau digunakan oleh sebuah negara dalam menentukan bentuk atau wujud politiknya.[6]

Di kalangan ahli hukum dewasa ini, berkembang dua pendapat tentang hubungan sebab akibat antara politik dan hukum. Pandangan yang pertama adalah kaum Idealis, yang cenderung berpandangan dari sudut das sollen. Pandangan ini mengacu pada pendapat Roscue Pound yang menyatakan bahwa “law as a tool of social enginering.”

Pendapat ini menyatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah kehidupan politiknya. Wajar jika secara ideologis mereka meletakkan hukum sebagai pemandu dan penentu arah perjalanan masyarakat, karena memang pada dasarnya hukum difungsikan untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya.

Pandangan yang kedua mengacu pada pandangan Von Savigny. Yang menyatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya; hukum tumbuh dan mati bersama masyarakatnya.

Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa pada dasarnya hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat. Artinya adalah bahwa hukum harus menjadi dependet variable atas keadaan luarnya, salah satunya adalah politik. Dalam bahasa lain dapat dinyatakan bahwa hukum adalah produk politik.[7]

Pada penelitian yang yang dilakukan oleh Lintje Anna Marpaung; dan ditulis dalam artikelnya berjudul Pengaruh Konfigurasi Politik Hukum terhadap Karakter Produk Hukum terbukti bahwa terdapat pengaruh antara konfigurasi politik terhadap produk hukum.

Di mana dinamika pengaruh konfigurasi politik yang demokratis dan atau otoriter telah terjadi sepanjang sejarah Republik Indonesia. Dinamika tarik menarik antara sistem politik yang demokratis dan otoriter secara bergantian muncul dan tenggelam dengan kecenderungan yang tampak dalam periodesasi sejarah.

Seiring dengan dinamika tersebut, perkembangan karakter produk hukum menunjukkan keterpengaruhannya dengan terjadinya pola tolak tarik antara produk hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter konservatif.

Sesuai dengan gagasan akan tahapan evolusi dalam teori hukum responsif sebagai model perkembangan (developmental model), maka untuk membuktikan hipotesa di atas, tulisan ini menganalisis data secara kualitatif dan normatif dengan membuat klasifikasi sejarah perkembangan politik dan konstitusi di Indonesia dalam periodesasi keberlakukan konstitusi di Indonesia, yang dikaitkan dengan momentum-momentum politik besar yang secara mendasar berpengaruh terhadap sistem politik negara.

Secara rinci, pembagian tahapan itu sebagai berikut: (1) Periode I, adalah antara tahun 1945-1959 yang di dalamnya berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi atau Demokrasi Liberal; (2) Periode II, adalah antara tahun 1959-1966, yang berlakunya kembali UUD 1945 pada masa Orde Lama yang juga dikenal dengan masa Demokrasi Terpimpin; (3) Periode III, adalah antara tahun 1966-1998, yaitu berlakunya UUD 1945 pada masa Orde Baru; dan (4) Periode IV, adalah tahun 1988-sekarang, yaitu ditandai dengan berlakunya UUD 1945 setelah amandemen, atau selanjutnya dikenal dengan Orde Reformasi.[8]

Mengenai produk hukum yang dihasilkan berdasarkan konfigurasi politik, Mahfud (1999:6) menguraikan, variabel bebas (konfigurasi politik) dan varibel terikat (karakter produk hukum) dibagi dalam dua ujung yang dikotomis.

Variabel konfigurasi politik dibagi atas konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi yang otoriter,[9] sedangkan variabel karakter produk hukum dibagi atas produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom dan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif atau menindas.

Dengan pemecahan kedua variabel tersebut ke dalam konsep-konsep yang dikotomis, hipotesis terkait pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum dapat dinyatakan secara lebih rinci bahawa: Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks atau menindas.[10]

Berdasarkan variabel-variabel tersebut, dapat dijabarkan secara konseptual sebagai berikut:

(1) Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turun aktif menentukan kebijakan Negara.

Di dalam konfigurasi yang demikian pemerintah lebih merupakan “komite” yang harus melaksanakan kehendak-kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara, sedangkan dunia pers dapat melaksanakan fungsinya dengan bebas tanpa ancaman pemberedelan;

(2) Konfigurasi Politik Otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan intervensionisme dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi secara proporsional.

Bahkan dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi (rubber stamps) atas kehendak pemerintah; sedangkan pers tidak memiliki kebebasan dan senantiasa di bawah kontrol pemerintah;

(3) Produk Hukum Responsif/Otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun berbagai kelompok social didalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di masyarakat.

Proses pembuatan hukum responsive ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat, dan lembaga-lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat, sedangkan rumusannya biasanya cukup rinci sehingga tidak terbuka untuk dapat diinterpretasikan berdasarkan kehendak dan visi pemerintah sendiri; dan

(4) Produk hukum Konservatif/Ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan, sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Jika prosedur seperti itu ada, biasanya lebih formalitas.

Di dalam produk yang demikian biasanya hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah. Rumusan materi hukumnya biasanya bersifat pokok-pokok saja sehingga dapat diinterpretasi pemerintah menurut visi dan kehendaknya sendiri dengan berbagai peraturan pelaksanaan.[11]

Perkembangan Pengaturan Wakaf dalam Pengaruh Konfigurasi Politik

Pembahasan konfigurasi politik dalam bahasan ini dikaitkan dengan konsep “demokrasi” dan konsep “otoriterisme” untuk mengidentifikasi pemerintah pada Orde Lama dan Orde Baru—apakah demokratis atau otoriter.

Dan dari kualifikasi itu pula akan dilihat karakter produk hukum yang dilahirkannya serta proses-proses pergulatan politik antara aktor dan lembaga politik yang diperankannya. Indikator produk suatu hukum dianggap responsif atau ortodoks dapat dilihat pada proses pembuatan, materil, sifat dan fungsi serta kemungkinan penafsirannya.

Sementara indikator demokratis atau otoriter suatu konfigarasi politik dengan menggunakan pola ala Dahrendorf atau Carter dan Herz yakni melihat suatu negara dari jarak antara realita dan idealita pada tatanan masyarakat.

Semakin liberal pluralistik suatu negara dianggap semakin demokratis dan sebaliknya jika suatu negara melakukan hegemoni represif akan dianggap otoriter. konfigurasi politik dan karakter hukum yang dilahirkan pada orde lama dan orde baru akan mengacu pada indikator-indikator di atas sebagai peta konsep untuk menentukan tipologi pemerintahan rezim demokrasi atau otoriter.[12]

Berdasarkan anaisa penulis, dalam melihat  konfigurasi politik dan pengaturan wakaf, digunakan pemetaan yang dibagi dalam empat periode. (1) Masa kolonial Belanda yakni sejak dimulainya pengaturan wakaf secara administratif di tahun 1905, (2) Orde lama, periode pertama 1945-1959, dan periode kedua 1959-1965, (3) rezim orde baru yang dimulai tahun 1966-1998, dan (4) era reformasi atau pasca-Soeharto yang dimulai pada tahun 1998 hingga saat ini.

Periodisasi didasarkan pada perubahan konstitusi Negara (UUD) dan pergantian kepemimpinan suatu rezim sejak naik tahta hingga turun tahta atau saat terjadinya pergantian kepemimpinan

Pengaturan Wakaf pada Masa Kolonial Belanda

Politik yang diterapkan pada masa penjajahan kolonial Belanda, tidak lain adalah politik yang memiliki tujuan imperialis atau penguasaan atas pribumi, sehingga cenderung otoriter dan menghasilkan pengaturan yang represif.

Pengaruh Islam yang sangat besar di kalangan pribumi; yang secara sosiologis maupun kultural, hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan telah berakar pada budaya masyarakat Indonesia, karena itulah hukum Islam tergolong sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law).

Bukan saja karena hukum Islam merupakan entitas agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, akan tetapi dalam dimensi amaliahnya, hukum Islam telah menjadi bagian tradisi (adat) masyarakat yang terkadang dianggap sakral.

Dalam sejarahnya, hukum Islam di Indonesia selalu mengalami dialektika sesuai dengan visi dan misi politik hukum penguasa.[13] Kuatnya pengaruh Islam tersebut, membuat Belanda melakukan berbagai cara dalam mengatasi permasalahan yang menjadi penghalang mereka atas kekuasannya.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, pada awal abad ke-20, tercatat telah tiga kali pemerintah kolonial Belanda ingin menerapkan hukum Barat untuk menduduki pribumi.

Pertama, tahun 1904 keitka PJ. Idenburg yang menjabat sebagai Menteri Koloni mengajukan rancangan Undang-Undang kodifikasi hukum perdata BW untuk semua penduduk Indonesia.

Kedua, tahun 1919 ketika B. Pleyte mencoba mengintrodusir rancangan Undang-Undang tentang hak kepemilikan tanah pribumi berdasarkan hukum Eropa.

Ketiga, pada tahun 1923 ketika F.J.H. Cowan membuat rancangan baru unifikasi KUH Perdata untuk penduduk pribumi. Semua usaha ini digagalkan oleh Van Vollenhoven yang mengiginkan penerapan hukum adat dalam masyarakat pribumi.[14]

Sebenarnya, pertentangan ini hanyalah konflik semu dan merupakan upaya Belanda dalam merealisasi politik divide et impera-nya. Pemberlakuan hukum adat untuk rakyat Indonesia adalah cara yang tepat untuk menyingkirkan hukum Islam dan menjauhkan umatnya dan agama mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Reaksi keras pasti akan timbul dari umat Islam, kalau Belanda memaksakan menerapkan hukum Barat—yang menurut orang-orang Islam sebagai hukum kafir—ke dalam masyarakat pribumi.

Karena itu, agar rencana Belanda tetap berjalan dengan baik, maka melalui Van Vollenhoven, Belanda berusaha mengangkat kembali hukum adat dan membenturkannya dengan hukum Islam.

Upaya politik Belanda dalam melemahkan hukum Islam di Indonesia dengan dasar divide et impera-nya tersebut cukup terlihat dalam pengaturan wakaf.

Di mana pada tahun 1905, akhirnya diadakan pegaturan terkait wakaf. Tepatnya di tanggal 31 Januari 1905, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Government Nomor 435 yang termuat dalam Bijblad Nomor 6195/1905 tentang Toezhat op den bouw van Mohammedaansche Bedebuizen.

Surat edaran tersebut berlaku di seluruh Jawa-Madura kecuali Surakarta-Yogyakarta. Tujuan surat edaran ini untuk mengawasi tanah-tanah yang di atasnya didirikan bangunan.

Jika sudah tidak digunakan sebagai wakaf, supaya jangan ditelantarkan dan supaya didaftar agar dapat dibatasi jika kepentingan umum menghendaki. Inti dari surat edaran yang ditujukan kepada para Bupati adalah:

(1) Supaya para Bupati mendaftar wakaf tanah milik yang sudah dilakukan umat Islam,

(2) jika ada wakaf baru harus dengan izin bupati. (Anshori, 2006:40). Umat Islam sadar akan upaya politik yang dilakukan oleh kolonial Belanda yang bertujuan melemahkan Islam, salah satunya yakni dengan membatasi praktik wakaf.

Oleh karenanya, disebutkan oleh Abdul Ghofur Anshori (2006:41), terjadi penolakan atas surat edaran tersebut, setidaknya karena dua hal,

(1) karena praktik wakaf harus dimintakan izin. Sesuatu yang dianggap aneh oleh umat Islam yang sudah bisa mewakafkan hartanya secara tradisional/agamis,

(2) surat edaran tersebut dianggap sebagai upaya pemerintah kolonial Belanda mencampuri urusan agama umat Islam. Kedua alasan penolakan ini menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Surat edaran tersebut walau tidak berlaku efektif, namun tetap bertahan sampai 25 tahun.

Kemudian ketika pemerintah kolonial menyadari ketidakefektifannya, mereka lalu mengeluarkan edaran baru. Tepatnya di tanggal 4 Januari 1931, yakni edaran dari Sekretaris Government Nomor 1361/ab termuat dalam Bijblade 1931 Nomor 12573 tentang Toezich van de Regeering op Muhammedaansche Bedebuizen, Vridagdiensten en Wakaps.

Surat edaran tahun 1931 tersebut mengatur tentang (1) supaya Bupati cukup mendaftar asal-usul (wakaf atau bukan) rumah-rumah ibadah, (2) izin untuk perwakafan lebih diperingan yaitu Bupati hanya menilai permohonan lengkap wakaf dari aspek, tempat dan maksud, walaupun tetap harus didaftar.

Meskipun edaran tahun 1931 terlihat lebih fleksibel dibandingkan dengan edaran 1905, namun oleh umat Islam, Belanda dipandang mempunyai niat tersembunyi, sehingga terkesan adanya campur tangan pemerintah kolonial Belanda dalam hal keharusan minta izin dalam mewakafkan harta.[15]

Sampai pada tahun 1934, edaran tersebut masih belum diperbaiki padahal sudah mendapat penolakan dari umat Islam. Bahkan pemerintah kolonial mempertegas kembali edaran tersebut dengan mengeluarkan surat edaran tanggal 24 Desember 1934 Nomo 3088/A.

Dan termuat di dalam Bijblad nomor 13390. Isi edaran ini mempertegas bahwa apabila terdapat sengketa wakaf untuk rumah ibadah, bupati berhak mencari penyelesaian sepanjang diminta oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Puncaknya, selang empat tahun dari surat edaran tahun 1930, dikarenakan terus menerus mendapat penolakan dari umat Islam yang memaksa untuk diadakan perbaikan atas surat-surat edaran, pemerintah kolonial akhirnya mengeluarkan surat edaran baru dari Sekretaris Government Nomor 1273/A tertanggal 27 Mei 1935, termuat dalam Bijblad 1935 Nomor 13480 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche Bedebuizen En Wakaps.

Surat edaran terbaru ini mengandung perubahan yang berarti. Karena untuk mewaakafkan harta, umat Islam tidak perlu lagi minta izin, namun cukup memberitahukan kepada Bupati.

Pemberitahuan ini penting agar Bupati berkesempatan mendaftar wakaf dan meneliti tentang ada tidaknya pengaturan umum/setempat yang menghalangi pelaksanaan tujuan wakaf tersebut. Kalau ada peraturan yang menghalanginya, maka Bupati hanya berhak mengajukan tanah wakaf yang lain. Dari surat edaran yang terakhir tersebut, masih tetap terlihat jelas keinginan Belanda untuk mengendalikan kekuatan umat Islam, yakni dengan membatasi praktif wakaf.

Di mana Belanda menciptakan pertentangan antara hukum adat dan hukum Islam. Sehingga apabila dianggap ada tujuan wakaf yang bertentangan dengan hukum adat setempat, maka Bupati berhak membatasi praktik wakaf di wilayahnya tersebut kemudian mengalihkannya ke tempat lain.[16]

Adanya aturan-aturan di dalam surat edaran—terutama yang tertuang dalam surat edaran terakhr—tak terlepas dari peran Snouck Hurgronje yang dalam analisanya mengatakan bahwa kaum Muslim Indonesia lebih menghargai mistik daripada hukum Islam dan lebih menghargai pemikiran agama yang spekulatif daripada pelaksanaan kewajiban agama itu sendiri.

Islam masih bercampur baur dengan sisa-sisa peninggalan Hindu dan ini diakomodasi dengan sumber masuknya Islam dari India. Karenanya, mistik mempunyai pengaruh di semua kalangan penduduk.

Berdasarkan inilah Hurgronje beranggapan bahwa Islam belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Dalam nasihatnya kepada pemerintah Hindia Belanda, ia menyatakan bahwa adat—terutama Minangkabau—harus dipertahankan dan dibela dari propaganda kelompok agama yang ingin mengubahnya.

Untuk itu, adat harus dibiarkan berkembang, tetapi tetap berada di bawah pengawasan pemerintah. Sifat kedaerahan dan keanekaragaman adat juga harus dipupuk agar penduduk Indonesia (Hindia Belanda) saat itu tidak punya kesatuan hukum. Lebih lanjut lagi dalam sebuah pidatonya, Hurgronje merumuskan strategi yang dipakai dalam memperlakukan tanah jajahan Belanda.

(1) dalam bidang agama murni (ibadat), pemerintah Hindia Belanda memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menjalankan ajaran-ajaran agama mereka sepanjang tidak mengganggu kekuasaan Belanda;

(2) dalam bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan pelbagai adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda; dan

(3) dalam bidang politik, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme politik pan-Islam. Pandangan inilah yang menjadi arah kebijakan politik Belanda terhadap Islam di Indonesia.[17]

Pengaturan Wakaf pada Masa Orde Lama

a.  Periode Demokrasi Liberal (1945-1959)

Pada periode 1945-1959, konfigurasi politik yang tampil adalah konfigurasi politik yang demokratis. Kehidupan politik pada periode ini dicirikan sebagai demokrasi liberal.[18] Ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 gagasan demokrasi dalam kehidupan politik mendapatkan tempat yang sangat menonjol.[19]

Di dalam konfigurasi yang demikian tampak bahwa partai-partai yang memainkan peranan yang sangat dominan dalam proses perumusan kebijakan negara melalui wadah konstitusionalnya (parlemen).

Seiring dengan itu lembaga eksekutif berada pada posisi yang “kalah kuat” dibandingkan dengan partai-partai sehingga pemerintah senantiasa jatuh bangun dan keadaan politik berjalan secara tidak stabil.

Kebebasan pers, bila dibandingkan dengan periode-periode lainnya, dapat dikatakan berjalan dengan baik; bahkan pada periode demokrasi liberal inilah peraturan sensor dan pembreidelan yang berlaku sejak zaman Hindia Belanda dicabut secara resmi.

Mahfud mencontohkan keterkaian antara konfigurasi politik dengan produk hukum agraria nasional. Pada periode 1945-1959 ini segera bermunculan tuntutan kepada pemerintah untuk membuat produk hukum agraria nasional yang baru dan berwatak responsif.

Walaupun demikian, terkait dengan hukum Islam, dapat dikatakan bahwa pada masa Orde Lama, posisi hukum Islam tidaklah lebih baik daripada masa penjajahan Belanda.[20] Termasuk di dalamnya hukum wakaf. Pandangan Soekarno sebagai penguasa terhadap Islam sepertinya sangat sekularistik.

Kendati pada awal terbentuk Negara Indonesia, dalam sidang BPUPKI, Soekarno dapat menerima dan setuju dengan keberadaan Piagam Jakarta. Namun, setelah Soekarno berkuasa, keberpihakannya kepada Islam semakin berkurang. Kenyataan Piagam Jakarta hanya menjadi catatan sejarah saja.

Dengan demikian, keinginan untuk mentransformasikan hukum Islam menjadi hukum nasional terlambat sekitar 29 tahun (1945-1974). Era ini yang menjadikan hubungan antara Islam dan Negara menjadi tidak harmonis. Setidaknya pada masa Soekarno, hubungan yang tidak harmonis ini mencapai puncaknya pada tahun 1955 yang dikenal dengan perdebatan di Konstituante.

Di era ini, Soekarno semakin menunjukkan sikapnya yang tidak begitu simpatik terhadap Islam. Sampai-sampai, ada sementara orang yang meragukan keislaman Soekarno semata-mata karena Soekarno adalah musuh agama.

Meskipun demikian, agaknya tidak adil jika tidak menyebut beberapa bentuk perkembangan hukum Islam pada era ini. Setidaknya Departemen Agama yang berdiri pada tanggal 3 Januari 1946 merupakan tonggak awal dari perjalanan hukum Islam.

Dengan terbentuknya Departemen Agama, kewenangan Pengadilan Agama telah dialihkan dari Menteri Hukum kepada Menteri Agama.[21]

b. Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966)

Konfigurasi politik yang demokratis berakhir pada tahun 1959, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang kemudian dianggap sebagai jalan bagi tampilnya demokrasi terpimpin. Pada era demokrasi terpimpin yang berlangsung pada tahun 1959-1966, konfigurasi politik yang ditampilkan adalah konfigurasi yang otoriter.[22]

Pertentangan ideologis yang berkepanjangan melumpuhkan kabinet dan konstituante hasil pemilihan umum 1955, yang membuka peluang dan mendorong Soekarno dengan dukungan Angkatan Darat; dan akhirnya mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dengan maksud membubarkan Konstituante; mencabut UUD Sementara 1950 dan kembali ke UUD 1945.

Dengan itu, berakhirlah sistem politik demokrasi liberal dan memunculkan sistem politik baru yang dinamai “Demokrasi Terpimpin” oleh Soekarno. Konsep demokrasi ini dianggap “sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia,” sementara demokrasi liberal dinilai sebagai barang impor dari Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan (kekeluargaan) bangsa Indonesia.

Periode 1959-1965, demokrasi terpimpin di bawah kendali Presiden Soekarno dalam praktiknya menjurus pada pola sistem politik yang otoriter. Partai politik yang menjamur pada demokrasi liberal, perlahan-lahan tapi pasti, dibatasi bahkan dibubarkan.

Dengan kebijakan seperti itu, partai partai poltik perannya semakin terbatas, lemah dan tidak manpu terlibat aktif dalam melahirkan kebijakan pemerintahan. DPR Gotong Royong yang dibentuk Soekarno menggantikan DPRS, keanggotaanya dianggap atau ditunjuk oleh Soekarno selaku Presiden/Mandataris MPR sekaligus sebagai “pemimpin besar revolusi”, tidak mencerminkan perwakilan rakyat, sehinggga tidak ada lagi mekanisme yang memungkinkan pemerintah mempertanggung jawabkan tugas dan pekerjaannya kepada rakyat. DPR-GR menjadi semacan badan pembantu pemerintah atau bagian dari eksekutif yang membenarkan setiap kebijakan yang diambil oleh Soekarno. Malah dengan membentuk Dewan Nasional yang diketuainya sendiri, berakhirlah pula prinsip kedaulatan rakyat yang di anut UUD 1945, yang sebenarnya menjadi landasan konstitusional demokrasi terpimpin.[23]

Peraturan-peraturan tentang hukum wakaf yang dibuat oleh pemerintah Kolonial Belanda pada zaman kemerdekaan masih tetap diberlakukan selama belum ada regulasi wakaf yang baru. Karena permasalahan perwakafan merupakan bagian dari hukum pertanahan (agraria) maka pemerintah memberikan perhatian khusus tentang perwakafan di dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pada Pasal 49 ayat (3) UUPA disebutkan; perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. UUPA 1960 lahir sebagai bagian dari propaganda politik Demokrasi Terpimpin dan sekaligus upaya melegitimasi kebijakan politik itu.

Demokrasi Terpimpin dituangkan dalam konsep-konsep politik ala Orde Lama, yaitu; Revolusi Nasional, Manifesto Politik dan faham Sosialisme Indonesia. Konsep-konsep politik tersebut dituangkan di dalam konsideran UUPA;

“Menimbang”, pada huruf (b) bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan “Revolusi Nasional” sekarang ini serta pembangunan semesta; “Berpendapat”, pada huruf (d) bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar dan “Manifesto Politik” Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan “memimpin” penggunaannya, hingga tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong;

“Mengingat”; (a) Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959; (b) Pasal 33 Undang-Undang Dasar; (c) Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960 (L.N. 1960-10) tentang Penetapan Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, dan Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960; (d) Pasal 5 jo. 20 Undang-Undang Dasar; dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.[24]

Penjelasan UUPA, yang diatur dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2044, juga memuat konsep-konsep politik Demokrasi Terpimpin, sebagaimana yang tercantum di dalam Penjelasan Umum poin 1;

(a) karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagiannya lagi dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan “Revolusi Nasional” sekarang ini;

(b) karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antar-golongan yang  serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa; (c) karena bagi rakyat, hukum agraria penjajah tidak menjamin kepastian hukum.[25]

Paham “Sosialisme Indonesia” secara jelas menjadi landasan lahirnya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hal ini dapat dilihat pada Penjelasan UUPA (TLN 2043) romawi III angka (1); …hukum agraria sekarang ini mempunyai sifat “dualisme” dan mengadakan perbedaan antara hak-hak tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukum Barat, yang terpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

Undang-Undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara dasar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa  yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian (Harsono, 2002: 36).

Dengan sendirinya hukum agraria baru itu, harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak.

Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada  hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan “Sosialisme  Indonesia”.

Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja feodal.[26]

Sistem politik hukum yang ada pada periode Demokrasi Terpimpin di Orde Lama, berimbas pada pengaturan wakaf yang disebutkan dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pada Pasal 49 ayat (3) menetapkan; Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Namun, pada kenyataannya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perwakafan tanah milik baru dapat terlaksana tujuh belas tahun kemudian, yaitu PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, setelah terjadinya pergantian konfigurasi politik era Orde Lama ke era Orde Baru.[27]

Pengaturan Wakaf pada Masa Orde Baru (1966-1998)

Pada periode ini, atas dasar logika pembangunan yang menekankan pada bidang ekonomi dan paradigma pertumbuhan, konfigurasi politik didesain untuk negara kuat yang mampu menjamin dan membentuk negara kuat.

Kehidupan politik yang stabil sengaja diciptakan karena pembangunan ekonomi hanya akan berhasil jika didukung oleh stabilitas nasional yang mantap.

Pada awalnya, Orde Baru memulai langkahnya secara demokratis. Akan tetapi, secara pasti lama-kelamaan Orde Baru membentuk konfigurasi yang cenderung otoriter.[28]

Orde baru diwarnai dengan G30S/PKI tahun 1965, yakni kudeta yang gagal, menyebabkan merosotnya kekuasaan Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya secara tajam.

Saling tarik tambang antara Soekarno, PKI, Angkatan Darat (AD) menjadi terputus dan diakhiri dengan tampilnya AD sebagai pemenang. Hancurnya PKI dan runtuhnya rezim Soekarno merupakan akibat dari peran-peran yang dimainkan oleh keduanya pada era demokrasi terpimpin.

Krisis politik yang terjadi menyusul G30S/PKI membawa Soekarno untuk mengeluarkan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada tahun 1966 yang berisi pelimpahan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan stabilitas pemerintahan serta keselamatan pribadi presiden.

Supersemar inilah yang menjadi jalan lempeng bagi tampilnya militer, terutama Angkatan Darat, sebagai pemeran utama dalam politik di Indonesia pada masa pasca G30S/PKI.

Pemerintah Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno Sejak tahun 1967 menamakan pemerintahannya sebagai pemerintahan Orde Baru. Suatu nama bagi tatatan masyarakat Indonesia secara resmi dipakai sejak tanggal 12 Maret 1966 bersamaan dengan pembubaran PKI, sehari setelah keluarnya Supersemar.[29]

Sistem politik hukum di masa Orde Baru, berdasarkan hasil Seminar II Angkatan Darat, memiliki tiga kata kunci, yaitu konsolidasi ekonomi, pimpinan dan pemerintahan yang kuat, dan stabilitas nasional.

Ini berarti tekad Orde Baru untuk membangun ekonomi harus dibayar dengan pengekangan terbatas pada kehidupan demokrasi. Pengalaman masa lampau yang terlalu memberikan peluang kepada demokrasi liberal telah menyebabkan berlarut-larutnya instabilitas politik sehingga negara dianggap tidak sempat memikirkan secara serius pembangunan ekonomi.

Bagi Orde Baru, pembangunan ekonomi harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh meskipun harus dibayar dengan pengekangan hak-hak politik rakyat atau demokrasi. Pemerintah Orde Baru, di awal kelahirannya, tidak pernah menjanjikan demokrasi dan kebebasan di masa depan.[30]

Terkait dengan pengaturan wakaf, selain PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Regulasi wakaf pada era Orde Baru juga diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan Pasal 49 (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; (1) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf dan sedekah.[31]

Regulasi wakaf di masa Orde Baru, sangat besar dipengaruhi oleh sistem politik hukum yang saat itu dijalankan oleh Soeharto, yakni sistem non-demokratis atau cenderung otoriter.

Sebagaimana dikatakan oleh Abdurrahman Wahid, bahwa pemerintah Indonesia di masa Orde Baru berwujud sistem otoriter yang tidak sampai pada tingkat tirani.[32]

Hal ini ditandai dengan berhentinya demokrasi liberal yang sempat berjalan di awal masa Order Baru—yakni kebebasan bagi parpol maupun media massa untuk melancarkan kritik dan pengungkapan realita di dalam masyarakat. Langgam liberal itu ternyata hanya berlangsung sampai tahun 1969/1971.

Gagasan demokrasi liberal mendapat momentum singkat pada awal Orde Baru karena ia ditimpang oleh slogan antidemokrasi, antikomunis, dan anti-Soekarnois.[33]

Sikap represif yang dipegang oleh Soeharto, terutama terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pahamnya, semakin terlihat apabila kita meninjau PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dilatarbelakangi atas dua hal; (1) tertib administrasi perwakafan; dan (2) proteksi terhadap gerakan komunisme.

Hal ini tercermin dari Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri, Amirmachmud, pada tanggal 26 November 1977.

Pada penjelasan umum disebutkan; di lain pihak banyak terdapat persengketaan-persengketaan tanah disebabkan tidak jelas status tanahnya, sehingga apabila tidak segera diadakan pengaturan, maka tidak saja akan mengurangi kesadaran beragama dari mereka yang menganut ajaran Islam, bahkan lebih jauh akan menghambat usaha-usaha pemerintah untuk menggalakkan semangat dan bimbingan “kewajiban ke arah beragama” (menjauhi faham dan gerakan komunisme), sebagaimana terkandung dalam ajaran Pancasila digariskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.[34]

Aksi-aksi yang dilakukan oleh PKI cukup mengkhawatirkan Pemerintahan Orde Baru. Selama ini PKI melakukan klaim sepihak terhadap UUPA 1960 dan melakukan sabotase-sabotase terhadap tanah wakaf. Contoh manuver yang dilakukan oleh PKI terhadap benda wakaf, tergambar dalam penelitian Agus Fathuddin Yusuf tentang wakaf Masjid Agung Semarang.

Pada awalnya dasar hukum wakaf Masjid Besar Semarang adalah Stb. 1912 No. 605 jo. Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 12 Agustus 1896 Nomor 43. Untuk mengamankan tanah-tanah tersebut pada tahun 1962 Menteri Agama (KH. Saefuddin Zuhri) menguatkan dan menegaskan berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 92 Tahun 1962 bahwa tanah-tanah tersebut adalah tanah wakaf yang pengelolaannya diserahkan kepada BKM Kodya Semarang. Alasannya, hampir semua tanah tersebut pada saat itu diserobot dan dikuasai oleh PKI.

Setelah terjadinya G. 30 S/PKI yang membuat posisi PKI hancur maka segera diadakan persidangan untuk menentukan status yang sebenarnya atas tanah-tanah wakaf Masjid Besar Semarang.

Melalui proses persidangan yang panjang, lebih dari 60 kali persidangan, akhirnya tanah-tanah wakaf tersebut bisa kembali sesuai dengan yuridis formal kepada Pengurus Masjid Besar Semarang.

Tak pelak bahwa cara-cara PKI itu telah menimbulkan konflik di mana-mana. Dan tidak sedikit tanah-tanah wakaf yang menjadi korban. Dalil mereka adalah bahwa semua yang ada termasuk tanah adalah comunal bezit atau milik bersama.

Dalam sejarahnya, PKI senantiasa menggunakan tanah sebagai bagian dari sarana politiknya. Para pemuda pasca revolusi yang tidak puas, marah dan benci, cepat sekali bereaksi terhadap pemimpin manapun yang menyebabkan ketidaksenangan mereka dan siapa saja yang menawari para pemuda itu tempat untuk menumpahkan perlawanan mereka terhadap status quo.

Awal keberhasilan PKI dalam segmen masyarakat petani berasal dari kondisi-kondisi yang sama, yaitu meluasnya ketidakpuasan dan keresahan masyarakat terhadap kehidupan.

Meskipun agak mengabaikan “kebijakan tanah” dan masalah-masalah petani selama beberapa tahun (dalam sejarahnya, PKI baru mengadakan Konferensi Pertanahan Nasional pada bulan April 1959), PKI tetap mendapat dukungan luas melalui kemenangan slogan-slogannya yang memikat dan heboh, di antaranya; “tanah untuk rakyat” dan “tanah untuk petani”.[35]

Untuk menangani dan mencegah fenomena tersebut, instruksi bersama diinstruksikan kepada Kepala Kantor Wilayah Departeme Agama Propinsi, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya seluruh Indonesia, mengenai;

Pertama, untu mengadakan koordinasi sebaik-baiknya dalam penyelesaian sertifikat tanah wakaf.

Kedua, mengupayakan penyelesaian sertifikat tanah wakaf tersebut selambat-lambatnya pada akhir Pelita V.

Ketiga, menggunakan tolok ukur satuan biaya Proyek Operasi Nasional Pertanahan (PRONA) sebagai dasar pembiayaan penyelesaian sertifikat tanah wakaf.

Keempat, merencanakan penyerahan secara masal sertifikat tanah dalam rangkaian acara hari ulang tahun Undang-Undang Pokok Agraria ke-31 tanggal 24 September 1991 dan Hari Amal Bhakti Departemen Agama ke-46 tanggal 3 Januari 1992 yang penyerahannya akan dilakukan oleh Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Kelima, mengintensifkan tanah wakaf baik yang bersumber APBN, APBD, maupun dari urgensi pendirian Lembaga Keuangan Syariah (LKS) wakaf sebagai Upaya Mereduksi Kesenjangan Ekonomi di Indonesia.

Keenam, melaporkan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Kepala Badan Pertanahan dan Menteri Agama RI apabila dalam sertifikat tanah wakaf tersebut mengalami kesulitan/hambatan tentang pembiayaan, tenaga teknis, peralatan dan kebutuhan lainnya.

Ketujuh, Instruksi ini supaya dilaksanakan sebagaimana mestinya dan setiap tiga bulan melaporkan perkembangannya kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Menteri Agama RI.

Kedelapan, Instruksi ini mulai berlaku sejak dikeluarkan tanggal 30 Nopember 1990.[36]

Menteri Agama, sebagai Pembantu Presiden, dalam Surat Keputusannya Nomor: 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden tersebut, meminta kepada seluruh Instansi Departemen Agama, dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan KHI.

Yang dalam tinjauan politik hukum, Kompilasi Hukum Islam bertujuan untuk kebutuhan teknis yustisial, yaitu kebutuhan perangkat hukum materiil bagi instansi pemerintah yang membutuhkan, dan sebagai tindak lanjut dari UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memposisikan Peradilan Agama sejajar dengan Peradilan-Peradilan lainnya. Hal ini tercermin dari konsideran KHI maupun penjelasannya.

Dalam konsideran KHI huruf (b) disebutkan; bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut Dalam bagian kedua diktum Keputusan Menteri Agama tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden itu disebutkan pula bahwa seluruh lingkungan instansi itu agar menerapkan KHI tersebut di samping Peraturan Perundang-undangan lainnya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.[37]

Lahirnya Kompilasi Hukum Islam tidak terlepas pula dari politik kepentingan akomodasi rezim Orde Baru yang berikutnya (setelah UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), terhadap politik Islam. Bahkan Munawir Sjadzali (1988) selaku Menteri Agama, dalam proses-proses politik yang berlangsung, sering mengatakan bahwa penggagas KHI adalah Presiden Soeharto sendiri.

Memang tidak jelas, siapa yang sesungguhnya menjadi penggagas KHI, ada yang menyebut Busthanul Arifin, Ibrahim Husain, dan Munawir Sjadzali. Ismail Sunny tidak mengatakan Presiden Soeharto adalah penggagas KHI, tetapi dia mengatakan bahwa Soeharto adalah orang yang mendorong terbitnya SKB antara Menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung tentang KHI itu. Busthanul menduga bahwa penempelan nama Seoharto pada KHI oleh Munawir di atas memang disengaja, karena itu memiliki arti penting dilihat dari konstelasi politik pada saat itu di mana Presiden memegang kendali kekuasaan yang luar biasa.

Dengan penempelan itu, diharapkan bahwa perjalanan KHI itu beserta seluruh upaya legitimasinya dapat berlangsung dengan lancar. Apalagi menurut Busthanul, saat itu terlihat adanya indikasi penentangan yang datang dari Gedung Sekretariat Negara yang di dalamnya ada Sudharmono dan Murdiono, serta A. Hamid S. Attamimi (Wakil Sekretaris Kabinet). Di balik layar ketiga orang inilah yang menurut Busthanul menentang KHI.[38]

Pengaturan Wakaf pada Masa Reformasi (1998-Sekarang)

Era reformasi ditandai dengan gerakan demokrasi yang sedang bergelora, yakni pada tahun 1998, dan dicabutnya UU No. 11/PNPS/1963, yakni Penpres/UU yang memberi jalan bagi penguasa untuk melakukan tindakan represif yang keras bagi siapa pun yang akan mengganggu posisi pemegang kekuasaan.[39]

Hal ini, sangat berkaitan dengan konfigurasi politik dan pengaruhnya terhadap produk hukum. Menurut Mahfud (2010: 374) tampak jelas dan terbukti secara gamblang bahwa hukum sebagai produk politik sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan politik. Begitu rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto jatuh, maka hukum-hukum juga langsung diubah, terutama hukum-hukum publik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan yakni hukum tata negara.

Berbagai undang-undang bidang politik produk Orde Baru langsung diubah dengan pembongkaran atas asumsi-asumsi serta penghilangan atas kekerasan-kekerasan politik yang menjadi muatannya. Konsep reformasi politik mengacu kepada proses perubahan secara gradual pada semua aspek kehidupan politik dalam rangka menciptakan kehidupan politik yang lebih demokratis, yang mendorong terwujudnya aspek kedaulatan rakyat, kebebasan, persamaan, dan keadilan. Reformasi di bidang hukum, berlaku pula pada Undang-Undang yang mengatur tentang wakaf. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf merupakan salah satu langkah pemerintah dalam mensukseskan PROPENAS (Program Pembangunan Nasional) di bidang pembangunan hukum nasional.

Hal itu terlihat dari surat yang diajukan oleh Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf cq. Menteri Agama kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia perihal izin prakarsa RUU Perwakafan.

Dalam surat tersebut dimuat perlunya penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang wakaf selama ini setelah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004, disebutkan bahwa salah satu indikator keberhasilan pembangunan nasional disektor hukum adalah ditetapkannya undang-undang tentang Hukum Terapan Peradilan Agama, yaitu salah satunya tentang Undang-Undang Wakaf.

Kedua, ketentuan mengenai perwakafan yang selama ini berlaku, belum dapat dijadikan landasan yang cukup kuat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan perwakafan, tak terkecuali pemberdayaannya dalam sektor ekonomi.

Regulasi-regulasi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3), PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang memuat KHI yang sebagian materinya berkaitan dengan wakaf, dan beberapa peraturan lain termasuk Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, dan beberapa peraturan yang bersifat teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Agama.

Dan keterlibatan semua stakeholder dalam penyusunan RUU Wakaf terlihat dalam agenda proses lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mulai tanggal 5 September 2002 sampai dengan 27 Oktober 2004.[40

PENUTUP

Politik hukum wakaf di Indonesia dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang terus berkembang dari masa kolonial hingga masa reformasi. Dengan kata lain, dalam hal ini konfigurasi politik berlaku sebagai variabel bebas, sementara wakaf yakni produk hukum sebagai variabel terpengaruh atau terikat.

Lebih lanjut, politik hukum wakaf dapat diketahui melalui karakter pemerintahan Indonesia yang secara umum dapat dibagi dua, ada yang bersifat demokratis; ada pula yang bersifat otoriter.

Pemerintahan yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang responsif; sedangkan pemerintah yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang represif. Pengaturan wakaf sebagai salah satu produk hukum, mengalami perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan konfigurasi politik di Indonesia tersebut.

Di mana berdasarkan penelitian penulis di atas, (1) pada masa Kolonial Belanda, pengaturan wakaf tidak lebih ditujukan agar pengelolaan tanah oleh umat Islam dapat diawasi dan dibatasi apabila tujuan wakaf tersebut dapat mengancam kekuasaan pemerintah; (2) pada periode Demokrasi Liberal ketika Indonesia baru saja merdeka, pengaturan wakaf tidak banyak berubah alias masih mennggunakan aturan warisan Belanda, hanya kepengurusannya saja yang berubah, ditandai dengan lahirnya Departemen Agama pada tahun 1946, yang kemudian mengalihkan wewenangnya pada KUA.

Partai-partai politik periode ini posisinya lebih kuat; dan dengan tuntutan-tuntutan partai politik itu pula pemerintah mulai berkeinginan untuk memperbaharui hukum agraria.

Hal ini tidak lain dikarenakan hukum agraria pada zaman hindia Belanda dinilai sangat eksploitatif, dualistik, dan feodalistik; (3) pada periode Demokrasi Terpimpin, pemerintahan cenderung otoriter di bawah kepemimpinan Soekarno.

Hal ini dapat dilihat dari paham Sosialisme—yang sangat identik dengan Soekarno—menjadi landasan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, di mana dalam Penjelasan UUPA (TLN 2043) romawi III angka

(1) dengan jelas ingin menghapus prinsip dualisme yang membedakan hak-hak tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukum adat.

Ada pun pengaturan wakaf dalam UUPA diatur pada Pasal 49 ayat (3), bahwa perwakafan tanah milik dilindungi oleh Peraturan Pemerintah;

(4) pada masa Orde Baru, pemerintah awalnya sempat menerapkan politik hukum yang demokratis, namun tidak bertahan lama dan pada akhirnya berganti menjadi otoriter.

Hal ini dibuktikan dengan pencantuman nama Soeharto dalam KHI untuk menunjukkan kekuasaannya, dan latar belakang penerapan PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yakni untuk melakukan proteksi terhadap gerakan PKI—dnegan demikian menunjukkan produk hukum yang bersikap represif dari pemerintah yang otoriter;

Terakhir (5) pada masa reformasi, konfigurasi politik yang berlaku bersifar demokratis, yang kemudian mendorong terwujudnya aspek kedaulatan rakyat, kebebasan, persamaan, dan keadilan.

Dalam aspek yang lebih konkret yakni reformasi di bidang hukum, salah satunya Undang-Undang yang mengatur tentang wakaf, yakni Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Regulasi tersebut merupakan salah satu langkah pemerintah dalam mensukseskan PROPENAS (Program Pembangunan Nasional) di bidang pembangunan hukum nasional.

Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf lahir pada masa reformasi pasca Orde Baru. UU Wakaf ini merupakan produk hukum pada periode konfigurasi politik yang demokratis di Indonesia, tepatnya sebagai langkah pemerintah dalam mendorong terwujudnya aspek kedaulatan rakyat, kebebasan, persamaan, dan keadilan.

Yang terwujudkan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS). Dengan kata lain, UU 41/2004 tersebut bersifat responsif yang menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap kehendak sosial dan aspirasi publik, bukan bersifat represif yakni hukum sebagai alat kekuasaan, yang bertujuan mempertahankan status quo penguasa yang kerapkali diterapkan sebagai dalih menjamin ketertiban.

Footnote

[1] Isharyanto, Politik Hukum, 1 ed. (Surakarta: Bebuku, 2016), 1.

[2] Sopiani Sopiani dan Zainal Mubaraq, “Politik Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasca Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” Jurnal Legislasi Indonesia 17, no. 2 (30 Juni 2020): 147, https://doi.org/10.54629/jli.v17i2.623.

[3] Iswantoro, “Politik Hukum Pembentukan dan Penataan Peraturan Perundang-Undangan,” Jurnal Majelis, Media Aspirasi Konstitusi 5 (2015): 97.

[4] Moh Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, 10 ed. (Rajawali Pers, 2020), 1.

[5] Mahfud, 2–3.

[6] Ummu Awaliah, “Konfigurasi Politik dan Produk Hukum di Indonesia Ditinjau dari Segi Hukum Tata Negara Islam” (Skripsi, Makassar, Universitas Islam Negeri Alaudiin Makassar, 2021), 16–17.

[7] Lintje Anna Marpaung, “Pengaruh Konfigurasi Politik Hukum terhadap Karakter Produk Hukum,” Pranata Hukum 7, no. 1 (2012): 1.

[8] Anna Marpaung, 5.

[9] Awaliah, “Konfigurasi Politik dan Produk Hukum di Indonesia Ditinjau dari Segi Hukum Tata Negara Islam,” 20–21.

Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Sedangkan konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara.

[10] Solikhul Hadi, “Dinamika Regulasi Wakaf di Indonesia dalam Konfigurasi Politik,” YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 11, no. 2 (2 November 2020): 273, https://doi.org/10.21043/yudisia.v11i2.7841.

[11] Moza Dela Fudika, Ellydar Chaidir, dan Saifuddin Syukur, “Konfigurasi Politik Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja,” Jurnal Legislasi Indonesia 19, no. 2 (2022): 188, https://doi.org/10.54629/jli.v19i2.828.

[12] Syamsuddin Radjab, Konfigurasi Politik dan Penegakan Hukum di Indonesia, 1 ed. (Jakarta: Naga Media, 2013), 97, 99.

[13] Bani Syarif Mulia, “Realitas Hukum Islam dalam Konfigurasi Sosial dan Politik di Indonesia (Perspektif Sosiologi Hukum tentang Perkembangan Hukum Islam di Indonesia),” Jurnal Hermenia 2, no. 2 (2003): 240.

[14] Muhammad Iqbal, “Politik Hukum Hindia Belanda dan Pengaruhnya Terhadap Legislasi Hukum Islam di Indonesia,” AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah 12, no. 2 (7 Agustus 2012): 121, https://doi.org/10.15408/ajis.v12i2.972.

[15] Achmad Irwan Hamzani, Perkembangan Hukum Wakaf di Indonesia, 2 ed. (Brebes: Diya Media Group, 2015), 85.

[16] Irwan Hamzani, 85.

[17] Iqbal, “Politik Hukum Hindia Belanda dan Pengaruhnya Terhadap Legislasi Hukum Islam di Indonesia,” 120.

[18] Solikhul Hadi, “Regulasi UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Tinjauan Sejarah-Sosial)” 8, no. 2 (2014): 326.

[19] Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, 294.

[20] Harun, “Perkembangan Hukum Islam dalam Konfigurasi Politik di Indonesia,” SUHUF 21, no. 2 (2009): 163.

[21] Harun, 163.

[22] Hadi, “Regulasi UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Tinjauan Sejarah-Sosial),” 326.

[23] Radjab, Konfigurasi Politik dan Penegakan Hukum di Indonesia, 108.

[24] Supriyadi Supriyadi dan Sholihul Hadi, “Regulasi Wakaf Di Indonesia Dari Masa Orde Lama Sampai Era Reformasi Dalam Tinjauan Politik Hukum,” ZISWAF : Jurnal Zakat dan Wakaf 6, no. 2 (24 Oktober 2019): 206, https://doi.org/10.21043/ziswaf.v6i2.6418.

[25] Supriyadi dan Hadi, 207.

[26] Supriyadi dan Hadi, 207.

[27] Supriyadi dan Hadi, 207.

[28] Hadi, “Regulasi UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Tinjauan Sejarah-Sosial),” 326.

[29] Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, 302.

[30] Mahfud, 304.

[31] Supriyadi dan Hadi, “Regulasi Wakaf Di Indonesia Dari Masa Orde Lama Sampai Era Reformasi Dalam Tinjauan Politik Hukum,” 207.

[32] Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, 306.

[33] Mahfud, 305.

[34] Supriyadi dan Hadi, “Regulasi Wakaf Di Indonesia Dari Masa Orde Lama Sampai Era Reformasi Dalam Tinjauan Politik Hukum,” 208.

[35] Supriyadi dan Hadi, 208.

[36] Supriyadi dan Hadi, 211.

[37] Supriyadi dan Hadi, 211.

[38] Supriyadi dan Hadi, 211.

[39] Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, 373.

[40] Solikhul Hadi, “Dinamika Regulasi Wakaf di Indonesia dalam Konfigurasi Politik,” YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 11, no. 2 (2 November 2020): 281–82, https://doi.org/10.21043/yudisia.v11i2.7841.