Moral dan hukum merupakan dua pilar penting dalam kehidupan manusia. Moral hadir sebagai pedoman nilai tentang benar dan salah, sedangkan hukum berfungsi mengatur perilaku dengan aturan dan sanksi yang mengikat.
Perdebatan muncul ketika ditanyakan apakah hukum harus selaras dengan moral atau dapat dipisahkan. Aliran hukum kodrat menekankan kesatuan keduanya, sementara positivisme memisahkan demi kepastian hukum. Utilitarianisme menilai hukum dari sejauh mana ia memberi manfaat terbesar bagi masyarakat.
Kajian tentang hubungan moral dan hukum menjadi penting karena berimplikasi langsung pada praktik hukum. Dengan memahami perspektif filsafat hukum, kita dapat menilai bagaimana hukum seharusnya dirancang agar adil, bermanfaat, dan tetap memiliki legitimasi di mata masyarakat.
Pendahuluan: Problema Moralitas
Apakah keyakinan umum umat manusia yang berkata bahwa ada perbuatan yang benar dan salah itu adalah sesuatu yang benar?
Mengapa terdapat perbuatan yang dianggap benar dan terdapat perbuatan yang dianggap salah?
Apakah gerangan nilai-nilai alasan-alasan yang diberikan?
Inilah apa yang disebut sebagai problema moralitas.[1]
Kata moral merupakan kata yang berasal dari bahasa latin “mores”, yang berarti kebiasaan atau suatu cara hidup.[2]
Poespoprodjo (2017:118) menyatakan bahwa moralitas merupakan kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk; moralitas dapat bersifat objektif dan subjektif.
Moralitas objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak pelaku. Lepas dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat mempengaruhi atau mengurangi penguasaan dirinya.
Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai individu.
Selain itu juga dipengaruhi, dikondisiikan oleh latar belakangnnya, pendidikannya, kemantapan emosinya, dan sifat-sifat pribadi lainnya.
Moral adalah suatu keyakinan tentang aturan-aturan atau ajaran-ajaran yang baik dan buruk; benar dan salah; layak atau tidak layak; patut atau tidak patut—yang bersumber dari agama, nasihat orang tua atau orang bijak, maupun lingkungan sosial dan memengaruhi manusia dalam bertingkah laku sehari-hari yang juga merupakan rangkaian nilai dan pranata normal yang mampu mengatur perilaku individu dalam menjalani suatu hubungan dengan masyarakat.[3]
Moral selalu menarik untuk dibahas, terutama dalam bahasan hukum. Yang mana dalam menentukan moralitas objektif atau ukuran untuk menentukan suatu hal benar atau salah; baik atau buruk—akan selalu berkaitan dengan aspek teologis.
Bahkan, argumen moral dianggap oleh para ahli-ahli filosof agama sebagai yang terpenting dan terkuat dalam membuktikan eksistensi Tuhan.[4]
Argumen moral ini banyak dihubungkan dengan Immanuel Kant (1724-1804). Menurutnya, argumen-argumen ontologis, kosmologis, dan teleologis, semuanya mempunyai kelemahan dan tak dapat membawa kepada keyakinan tentang adanya Tuhan.
Menurut pendapatnya, argumen moral inilah yang benar-benar membawa kepada keyakinan. Kant berpendapat bahwa manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya.
Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan-perbuatan baik.
Singkatnya, argumen moral Kant bukanlah berarti perintah hati sanubari yang bersifat mutlak hanya mengandung arti bahwa manusia wajib patuh pada perintah tersebut, tetapi juga mengandung arti bahwa perintah itu pada akhirnya akan membawa kepada summum bonum atau kesenangan yang tertinggi yang terdiri dari persatupaduan antara kebajikan (al-fadhilah, الفضيلة, virtue) dan kesenangan—yang timbul dari keadaan manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginannya.[5]
Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa summum bonum ini tak tercapai dalam alam sekarang, karena antara kewajiban dan keinginan manusia selalu bertentangan.
Oleh karena itu, hati sanubari manusia mengatakan, bahwa summum bonum harus dicapai dan untuk itu perlulah ada hidup yang kekal bagi manusia, dengan kata lain, jiwa manusia itu haruslah kekal agar summum bonum yang tercapai di alam sekarang dapat diwujudkan kelak sesudah manusia meninggalkan dunia ini.
Selanjutnya paham summum bonum ini membawa kepada adanya Tuhan. Summum bonum tak tercapai dalam alam ini karena antara perintah sanubari dan perintah manusia terdapat pertentangan; dengan kata lain, karena antara alam moral (perintah hati sanubari) dan alam materiil (keinginan manusia) terdapat suatu jurang.
Jurang yang memisahkan kedua alam ini hanya dapat dilenyapkan oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.[6]
Argumen moral ini dapat disederhanakan lagi, bahwa kalau manusia merasa dalam dirinya ada perintah mutlak untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk, dan kalau perintah ini bukan diperoleh dari pengalaman, tetapi telah terdapat dalam diri manusia, maka perintah itu mesti berasal dari suatu Dzat yang tahu akan baik dan buruk. Dzat atau entitas inilah yang disebut sebagai Tuhan.
Perbuatan baik dan buruk mengandung arti nilai-nilai. Nilai-nilai itu bukan berasal dari manusia tetapi telah terdapat dalam dirinya. Nilai-nilai ini berasal dari luar manusia, dari suatu Dzat yang lebih tinggi dari manusia, yang tidak lain adalah Tuhan.[7]
Meskipun dinyatakan sebagai arumentasi terkuat dalam menunjukkan keberadaan Tuhan, Nasution (2003:68) mengutip kritik terhadap argumentasi ini, bahwa argumen moral ini mempunyai tolak pangkal pada pengakuan adanya perasaan moral yang tertanam dalam jiwa manusia dan yang berasal dari luar manusia.
Tetapi tidak semua orang percaya pada pendapat yang serupa ini. Ada orang yang tak percaya pada norma-norma yang tertentu atau nilai-nilai moral yang objektif.
Demikianlah, berbicara mengenai moralitas, pasti tak lepas dari nilai-nilai moral yang dianggap murni atau objektif—yang kemudian diyakini oleh sebagian orang sebagai dasar dari munculnya sesuatu yang dianggap benar atau salah; serta dianggap baik atau buruk.
Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara penganut aliran hukum kodrat dan positivisme, serta utilitarianisme—yang kemudian menjadi fokus bahasan penulis. Yakni keterkaitan antara nilai-nilai moral dan eksistensinya dalam hukum.
Integrasi Moral dan Hukum dalam Pandangan Aliran Hukum Kodrat (Alam)
Pemikiran yang mengusung hukum dan moral harus berkaitan satu sama lain tercermin dalam pandangan hukum kodrat, bagi hukum kodrat hukum moral memerintahkan muatan aktual hukum buatan manusia (hukum positif).
Hubungan antara keduanya sangat kuat dengan asumsi bahwa apa yang ditetapkan oleh hukum positif di dalam aturan-aturannya sebenarnya tidak lain merupakan manifestasi moral atau asas-asas moral itu sendiri.
Oleh karenanya ada dua alternatif kemungkinan, yakni: pertama, hukum positif yang tidak mengandung moralitas dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat; kedua, ketaatan pada hukum yang berlaku dipandang identik dengan perbuatan moral.
Jadi bagi kelompok ini beranggapan hukum positif yang tidak memiliki moralitas di anggap sebagai hukum yang tidak adil.[8]
Pandangan ini di dukung oleh para pemikir mazhab hukum alam, pada dasarnya pemikiran hukum atau mazhab hukum alam merupakan mazhab hukum yang mendasari hampir semua hukum yang berkembang, tidak bisa dilepaskan dari kontribusi hukum ini, pemikiran yang sempat dikatakan telah mati ini justru bangkit kembali, seiring dengan kesadaran etis manusia terutama setelah terjadinya degradasi dan deferensiasi antara hukum dan moral.
Walau muncul beberapa keberatan atas gagasan teori hukum kodrat klasik misalanya dalam pemikiran Thomas Aquinas, seperti tidak adanya kepastian hukum, kekaburan mengenai isi dari hukum kodrat, keterkaitan hukum-hukum positif dengan etika.[9]
Akan tetapi lowong-lowong kekurangan itu telah ditutupi oleh pemikiran tokoh hukum kodrat modern seperti Hugo Grotius dalam wajah hukum kodrat sekuler.
Mazhab hukum alam mengawali pertanyaan mendasar “apa yang menjadi hukum suatu hukum?” jawaban yang diberikan oleh Thomas Aquinas adalah apa yang menjadi jawaban aristoteles yakni teori moral yang mendasarkan pada filsafat “kodrat manusia”.
Dalam summa theologiae, mengenai De Essentia, Thomas Aquinas memberikan definisi hukum adalah tidak lain hanya sebagai perintah akal budi demi kebaikan umum, dan dipromulgalasasikan oleh ia yang memiliki kewenangan membina masyarakat.[10]
Bagi Thomas Aquinas, moral harus menjadi dasar bagi hukum positif, yaitu selaras dengan hukum kodrat.
Hukum harus membantu manusia berkembang selaras sesuai kodrat, artinya, yakni menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat adil, menjamin kesamaan dan kebebasan, memajukan kepentingan dan kesejahteraan umum.[11]
Dalam Summa Theologiae-nya, Aquinas mengatakan “hukum dapat tidak adil karena bertentangan kesejahteraan manusia.” Hal ini terjadi karena 3 (tiga) hal;
Pertama, karena penguasa memaksakan hukum yang tidak memberikan kesejahteraan umum dan justru menetapkan hukum berdasarkan hasrat menuasia tersebut;
Kedua, Pembuat hukum yang melampaui kewenangannya;
Ketiga, karena hukum dipaksakan kepada masyarakat secara tidak sama, meskipun alasannya bertujuan demi kesejateraan umum.
Bagi Thomas Aquinas tiga hal itu merupakan tindakan kekerasan hukum. Dan baginya hukum yang tidak adil sama sekali tidak bisa disebut sebagai hukum.
Hukum kodrat merupakan sumber atau asal usul dari moralitas dan legalitas. Moralitas merupakan syarat legalitas.[12]
Tujuan utama dari pada hukum dalam arti yang sebenarnya adalah yang pertama-tama dan paling utama adalah dimaksudkan untuk mencapai kebaikan umum.
Thomas Aquinas menyebut tujuh kebajikan yang menjadi ciri/parameter hidup yang baik, empat diantaranya diambil dari moral Yunani, dan tiga kebajikan lain ditambahkan Thomas dengan maksud untuk menunjukan tingkat moralitas yang lebih tinggi.
Keempat dimaksud adalah, kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan kesederhanaan hidup. Ia menyebut 4 (empat) kebajikan itu sebagai “sebajikan Utama”.
Adapun tiga kebajikan lain yang dimaksud adalah, kebajikan teologis yaitu iman, pengaharapan, dan cinta kasih. Secara kodrati telah tersedia pola ideal moralitas (prinsip-prinsip moral) yang sifatnya given berkat partisipasi illahi dalam alam.
Prinsip-prinsip moral itulah yang disebut hukum alam atau lex naturalis/natural law. Aristoteles, merumuskan secara padat mengenai sari hukum alam, demikian: honeste vivere (hidup terhormat), neminem non laedere (tidak mengganggu orang lain), uniqum suum tribuere (berikan pada tiap orang apa yang menjadi haknya).
Dari tiga sari hukum alam inilah, kemudian berkembang ragam teori mengenai keadilan. Hukum alam, adalah pola illahi. Ia tidak diciptakan oleh manusia. Tapi sebaliknya, ia given dalam diri manusia berupa budi dan nurani yang ditanamkan oleh illahi pada diri setiap individu.
Hukum alam berupa nilai-nilai moral dan keadilan sebagaimana dirumuskan Aristoteles itu tertanam dalam budi dan nurani manusia.[13]
Menurut hukum kodrat antara masyarakat, moral dan hukum positif tidak bisa dipisahkan apalagi di dikotomikan, Tamanaha menjelaskan alasan hubungan erat ketiga anatra lain sebagai berikut:
(1) sebelum terbentuknya negara modern, antara adat/kesepakatan dan moral tidak terpisahkan;
(2) perkembangan hukum positif adalah sebagai tanda perkembangan peradaban, berdasarkan akal dan moral yang mengatur masyarakat;
(3) moral dan akal adalah sumber dari norma hukum positif;
(4) tindakan yang sesuai dengan hukum positif adalah tindakan yang benar-benar mempertimbangkan moral yang baik;
(5) hukum positif yang inkonsisten dengan moral dan akal adalah tidak mempunyai legitimasi, tidak sah, dan menurut Hukum Kodrat, tidak lagi dianggap sebagai hukum;
(6) moral adalah aspek yang tak terpisahkan dari hukum positif; bahkan secara ekstrem dapat dikatakan;
(7) prinsip-prinsip moral adalah hukum juga.” (Widodo Dwi Putro; 2011)
Sejak awal relasi moral dengan hukum dalam hubungan tripartit, yakni:
(a) adat/kesepakatan (custom/consent)
(b) morality/reasonI), dan
(c) hukum positif (positive law).[14]
Pemisahan antara Moral dan Hukum oleh Aliran Positivisme Hukum
Positivisme hukum melakukan pemisahan antara hukum dan moralitas. Para penggagas positivisme hukum memisahkan antara domain hukum dan domain moral.
Para ahli positivisme menetapkan bahwa sifat esensial hukum terlepas dari moral dan tidak melihat apakah moralitas dipahami berbeda dengan immoralitas, bijaksana atau faktual.
Menurut pendapat Lon Fuller, terdapat delapan prinsip legalitas yang harus diwujudkan oleh hukum, yaitu:[15]
a) Adanya peraturan yang dicipta terlebih dahulu, tidak ada keputusan-keputusan secara ad-hoc atau tindakan-tindakan yang bersifat arbiter;
b) peraturan yang diumumkan secara layak;
c) peraturan tidak boleh berlaku surut;
d) perumusan peraturan dapat dimengerti oleh rakyat (jelas dan rinci);
e) hukum sebagai suatu hal yang mungkin untuk dijalankan;
f) tidak terdapat pertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain;
g) peraturan tidak boleh sering diubah (bersifat tetap), dan;
h) adanya kesesuaian antara tindakan pejabat hukum dengan peraturan yang telah dibuat.
Lon Fuller berpendapat bahwa dalam sebuah sistem hukum terdapat usaha manusia yang bertujuan menundukkan perilaku manusia berdasarkan pedoman dan aturan umum.
Apa pun tujuan substantifnya, sistem hukum terikat untuk mematuhi standar prosedural tertentu, tanpa adanya kepatuhan terhadap hukum maka sistem hukum yang ada tidak berarti.
Di lain sisi, perkembangan pemikiran positivisme yang dikenal dari Auguste Comte diikuti oleh John Austin sebagai seorang ahli hukum yang memperkenalkan positivisme hukum. Positivisme hukum menurut John Austin harus memisahkan hukum positif dengan moral.
Hukum positif berupa perintah dari penguasa yang berdaulat, disertai dengan ancaman/ sanksi dan adanya otoritas yang tidak tunduk pada siapapun tetapi ditaati oleh masyarakat.[16]
Lebih lanjut, dalam metafisika kesusilaan Kant, ditemukan perbedaan antara legalitas dan moralitas. Legalitas menurut Kant dipahami sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka.[17]
Kesesuaian dan ketidaksesuaian belumlah dianggap memiliki nilai-nilai moral, sebab nilai-nilai moral baru dapat ditemukan dalam moralitas.
Moralitas dalam pandangan Kant selanjutnya dipahami sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang dipandang sebagai kewajiban kita.
Moralitas barulah dapat diukur ketika seseorang menaati hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa hukum itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum.
Konstruksi legalitas dan moralitas Kant, dianggap tidak fleksibel dan cenderung ekstrem. Menurut para pengkritik Kant, kontribusi Kant melupakan aspek lain yang juga dapat memengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam konteks kontribusi legalitas dan moralitas seperti sikap belas kasihan, iba hati, atau kepentingan diri.
Kritikan tersebut mungkin ada benarnya, akan tetapi yang ditegaskan Kant dalam kontruksi legalitas dan moralitas bahwa kesungguhan sikap moral baru dapat dilihat ketika seseorang berbuat demi kewajiban itu sendiri.
Jadi hakikatnya, seseorang tersebut berbuat karena menyadari hakikat kewajiban itu sendiri. Belakangan, gagasan Kant berkembang menjadi landasan bagi perkembangan positivisme.[18]
Pandangan menarik dari Herbert Lionel Adolphus Hart atau HLA Hart sebagai penganut madzhab postitivisme, ia mengakui bahwa hukum, keadilan, dan moral memiliki hubungan yang sangat dekat.
Bahkan salah satu aspek keadilan, yaitu keadilan administratif, dan dalam hukum kodrat minimum, hukum dan moralitas berhubungan secara ‘mutlak’.[19] Keadilan administratif yang dimaksud di sini tidak lain keadilan dalam penerapan hukum.
Penerapan hukuman terhadap seseorang hanya didasarkan pada karakteristik yang disebutkan dalam hukum.
Hukum tentang pembunuhan misalnya, menyebutkan bahwa seseorang yang secara sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum lima belas tahun, maka dari ketentuan ini kita akan tahu mana karakteristik yang relevan atau tidak relevan untuk menghukum pelaku pembunuhan.
Meskipun demikian, Hart hanya mengakui hubungan mutlak hukum dan moralitas dalam hukum kodrat minimum dan administrasi hukum. Dengan kata lain, hubungannya tidaklah disebut kemutlakan logis, melainkan kemutlakan alamiah.
Disebut mutlak alamiah karena kemutlakan hubungan itu sendiri didasarkan pada kondisi alamiah kehidupan manusia itu sendiri.
Secara sederhana, Hart tetap memisahkan antara hukum dan moralitas, namun tidak secara ekstrem. Hart berpendapat bahwa moralitas adalah syarat minimum, berupa keterbatasan setiap orang untuk mengatur perubahan yang ada di masyarakat.
Tersirat bahwasanya hukum positif sering kali tertinggal dari perkembangan masyarakat, sehingga dibutuhkan ruang moral yang harus dimiliki pengemban hukum dalam melakukan penegakan hukum.[20]
Moralitas Menurut Utilitarianisme Jeremy Bentham: Berintegrasi atau Terpisah dari Hukum (?)
Konsep dasar dari Teori Utilitarianisme secara umum sangat sederhana, yaitu bagaimana memaksimalkan kedayagunaan (utility) dari suatu tindakan, sehingga dari proses tersebut kita dapat menikmati manfaat, keuntungan, kebahagiaan, dan kenikmatan (benefit, advantage, pleasure, good, or happiness).
Dari proses memaksimalkan kedayagunaan tersebut, kemudian diharapkan pula untuk dapat menghalangi timbulnya rasa sakit, kejahatan, penderitaan, atau rasa-rasa yang menimbulkan ketidakbahagiaan.[21]
Secara mendetail, konsep utilitarianisme dari Jeremy Bentham menggambarkan bahwa apabila seorang individu menghadapi suatu peristiwa yang secara moralitas baginya itu penting, maka kita dapat melakukan perhitungan mengenai siapa saja yang akan dipengaruhi oleh tindakan tersebut dan seberapa besar pleasure dan pain yang dapat ditimbulkan bagi mereka yang terkena dampaknya, dan memilih mana saja tindakan yang dapat mengoptimalisasikan kebahagiaan atau mereduksi rasa penderitaannya.[22]
Lebih lanjut, di dalam konsep teori utilitarianismenya tersebut, Jeremy Bentham juga mempercayai adanya proses untuk memaksimalkan kedayagunaan, yang mana dalam proses tersebut memaksimalkan kedayagunaan adalah sama dengan memaksimalkan kebahagiaan, manfaat, keuntungan, dan kenikmatan bagi sebanyak-banyaknya orang atau dalam premis yang sama, memaksimalkan kedayagunaan adalah sama dengan meminimalkan rasa penderitaan bagi sebanyak-banyaknya orang yang terdampak kepada situasi yang secara moralitas dianggap penting baginya.
Di sini, Jeremy Bentham tidak membahas apakah moralitas itu masuk ke dalam proses perhitungan dari pleasure dan pain-nya tersebut, atau apakah moralitas merupakan hal yang penting bagi masyarakat, tetapi dia menempatkan moralitas sebagai suatu indikator (atau mungkin justifikasi) kapan perhitungan pleasure dan pain-nya itu digunakan.
Oleh karenanya, perhitungan antara pleasure dengan pain dapat dilakukan apabila terdapat tindakan/peristiwa/fenomena yang secara moralitas masyarakat menganggap itu penting, sehingga apabila tidak ditemukan solusi untuk permasalahan tersebut, akan timbul ketidaktertiban di dalamnya.
Oleh sebab itu, menurut penulis utilitarianisme Jeremy Bentham ini menjadi sangat relevan apabila dijadikan sebagai pisau analisis terhadap suatu kebijakan hukum. Karena selain anomali masyarakat, hukum juga menjadi bagian penting yang dapat mengguncang nilai-nilai moralitas masyarakat.[23]
Dengan didasarkan kepada penjelasan pada sub-bab sebelumnya, maka premis dari aliran utilitarianisme adalah mendasarkan setiap tindakan manusia kepada perbuatan- perbuatan yang mengarahkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya, dan menghindari mengurangi penderitaan yang akan datang.
Baik atau buruknya suatu tindakan diukur dari seberapa besar kebahagiaan yang akan didapatkan, apabila lebih besar kebahagiaan daripada penderitaannya, maka tindakan tersebut adalah baik, begitu pula sebaliknya.
Apabila mengkorelasikan premis ini dengan teori utilitarianismenya Jeremy Bentham, maka metode perhitungan ini juga diimplementasikan kepada produk-produk hukum (atau produk peraturan perundang-undangan).
Menurut Shidarta, tesis yang diambil oleh teori utilitarianismenya Jeremy Bentham sama dengan tesis yang diambil oleh positivisme hukum, karena dari segi ontologinya, aliran ini memandang produk hukum sebagai norma positif dalam sistem perundang-undangan, oleh karenanya teori ini mengambil tesis separibilitas, yaitu memisahkan hukum dengan moralitas.[24]
Lebih lanjut, meskipun secara ontologi memiliki persamaan, tetapi dari segi epistemologis dan aksiologi, utilitarianisme berbeda dengan aliran positivisme hukum, karena utilitarianisme tidak hanya mementingkan kepastian hukum sebagai tujuan akhirnya, tetapi juga memperhitungkan pemecahan solusi bagi suatu permasalahan yang secara moralitas dianggap penting oleh masyarakat, sehingga aspek-aspek kedayagunaan yang meliputi dimensi kemanfaatan, kenikmatan, kebahagiaan, dan lain sebagainya perlu untuk diperhatikan untuk mengukur seberapa jauh keberlanjutan dari suatu norma positif agar dapat dipertahankan.[25]
Oleh sebab itu, karena melihat aspek-aspek kemasyarakatan untuk menghitung seberapa kedayagunaan dari suatu produk hukum, maka teori utilitarianisme Jeremy Bentham juga mengambil tesis reduktif, yaitu tidak memisahkan hukum dengan fakta.
Oleh sebab itu, titik berdiri dari teori utilitarianisme Jeremy Bentham adalah sama dengan titik berdiri yang diambil oleh aliran positivisme hukum. Perbedaan yang ada pada aliran positivisme hukum dengan teori utilitarianisme Jeremy Bentham terletak kepada bagaimana memandang tujuan kepastian hukum itu berakhir.
Di dalam aliran positivisme hukum, kepastian hukum berakhir ketikan suatu putusan, keputusan, atau suatu peraturan perundang-undangan telah ditetapkan, sedangkan teori utilitarianismenya Jeremy Bentham memandang bahwa kepastian hukum itu tidak hanya berakhir sampai di situ, tetapi juga harus melalui evaluasi etis-etika, agar dapat menentukan keberlangsungan dan keberlanjutan dari produk hukum tersebut.
Fenomena Hukum Indonesia: Potret Implikasi Nilai-nilai Moral terhadap Hukum
Contoh konkret implikasi aliran positivisme hukum di Indonesia—yang memisahkan moral dan hukum adalah putusan pengadilan terkait dengan tindak pidana tertentu, seperti kasus korupsi yang hanya mengacu pada ketentuan hukum pidana yang ada tanpa mempertimbangkan secara mendalam aspek moral.
Sedangkan fenomena di mana moralitas dan hukum tidak dipisahkan bisa dilihat pada pembentukan Undang-Undang yang mencerminkan nilai-nilai moral dalam masyarakat, misalnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tentunya sangat mencerminkan nilai-nilai moral dan kepercayaan agama di Indonesia.
Terakhir, contoh konkret dari madzhab kemanfaatan atau utilitarianisme Jeremy Bentham adalah implementasi kebijakan kesehatan atau pendidikan yang dianggap dapat memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat, seperti program pemberian vaksin yang mengandalkan prinsip Freies Ermessen atau lumrah disebut peraturan kebijaksanaan.
Kesimpulan
Aliran Hukum Alam beranggapan bahwa konsep hukum dan moralitas harus disatukan demi menciptakan keadilan (aliran hukum alam) sebagaimana banyak diwakili oleh Thomas Aquinas dalam summa theologia-nya, sedangkan aliran positivisme hukum berpendapat konsep hukum harus dipisahkan dari konsep-konsep yang bersifat non-yuridis (dalam hal ini, banyak juga yang menganggap moralitas juga harus dipisahkan dari hukum) sehingga menciptakan kepastian (aliran positivisme hukum).
Dengan kata lain, dalam aliran positivisme hukum, terbagi menjadi dua kubu yakni (1) ekstrem memisahkan hukum dan moralitas, dan (2) memisahkan keduanya namun tidak secara penuh, sebagaimana yang dipaparkan H.L.A. Hart.
Terakhir, oleh aliran utilitarianisme Jeremy Bentham, kedudukan moralitas hampir sama dengan apa yang diyakini dalam aliran positivisme. Perbedaannya terletak pada pandangan akan akhir dari sebuah tujuan kepastian hukum.
Dalam positivisme, kepastian hukum berakhir ketika suatu putusan atau perundang-undangan telah ditetapkan, sedangkan dalam madzhab utilitarianisme, adanya sebuah penetapan perundang-undangan harus melalui proses yang lebih panjang yakni evaluasi etis-etika, agar dapat menentukan keberlangsungan dari produk hukum tersebut, tentunya sesuai dengan prinsip utama madzhab ini, memaksimalkan kedayagunaan, sehingga bisa menghasilkan manfaat keuntungan, kebahagiaan, dan kenikmatan.
Footnote
[1] W. Poespoprodjo, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktik, 2 ed. (Bandung: Pustaka Setia, 2017), 118.
[2] Serlika Aprita dan Rio Adhitya, Filsafat Hukum, 1 ed. (Depok: Rajawali Pers, 2020), 222.
[3] Aprita dan Adhitya, 222.
[4] Harun Nasution, Falsafat Agama, 9 ed. (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 65.
[5] Nasution, 67.
[6] Nasution, 67.
[7] Nasution, 68.
[8] E Sumaryono, Etika Hukum: Relevansi Teori Kodrat Thomas Aquinas, 5 ed. (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 54.
[9] Sumaryono, 56.
[10] Sumaryono, 57–58.
[11] Sumaryono, 59.
[12] Sumaryono, 44.
[13] Bernar L Tanya, Seri Kuliah Filsafat Hukum (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012), 37.
[14] Sumaryono, Etika Hukum: Relevansi Teori Kodrat Thomas Aquinas, 76.
[15] Salman Luthan, “Dialektika Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat Hukum,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 16, no. 4 (2012): 4.
[16] Cahya Wulandari, “Kedudukan Moralitas dalam Ilmu Hukum,” Jurnal Hukum Progresif 8, no. 1 (2020): 4.
[17]Sukarno Aburaera, Muhadar, dan Maskun, Filsafat Hukum: Teori dan Praktik, 6 ed. (Jakarta: Prenadamedia, 2021), 151.
[18]Takdir Yakindo, Astri Evarianti, dan Nova R Rohadatul A, “Moralitas dan Hukum dalam Pandangan Immanuel Kant,” Jurnal Filsafat Terapan 1, no. 1 (2023): 4.
[19]Aprita dan Adhitya, Filsafat Hukum, 229.
[20] Wulandari, “Kedudukan Moralitas dalam Ilmu Hukum,” 5.
[21] Endang Pratiwi, Theo Negoro, dan Hassanain Haykal, “Teori Utilitarianisme Jeremy Bentham: Tujuan Hukum atau Metode Pengujian Produk Hukum?,” Jurnal Konstitusi 19, no. 2 (2022): 277.
[22] Jeremy Bentham, An Introduction to the Principle of Morals and Legislation (Ontario: Batoche Books Kitchener, 2001), 14–19.
[23] Pratiwi, Negoro, dan Haykal, “Teori Utilitarianisme Jeremy Bentham: Tujuan Hukum atau Metode Pengujian Produk Hukum?,” 279.
[24] Mahrus Ali, “Pemetaan Tesis dalam Aliran-Aliran Filsafat Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya,” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 24, no. 2 (15 April 2017): 214, https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss2.art3.
[25] Ali, 215.

