Definisi Reinvensi dan Implementasinya pada BUMN

definisi reinvensi dan implementasinya pada BUMN

07/02/2024

Seluruh isi artikel yang tersedia di TanyaLawyer dibuat semata-mata untuk tujuan edukasi guna meningkatkan literasi hukum masyarakat dan bersifat umum. Jika Anda memerlukan nasihat yang lebih spesifik mengenai pertanyaan/permasalahan hukum Anda, silakan lakukan konsultasi secara langsung.

Reinventing Government adalah pemikiran modern yang muncul sebagai koreksi terhadap perkembangan teori fungsi negara. Fungsi negara yang paling klasik adalah bertindak sebagai penjaga ketertiban (nachwachterstaat) berdasarkan teori red light theory, yang membatasi campur tangan negara dalam pengelolaan negara.

Kemudian, fungsi negara berkembang lebih luas untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat (welfarestaat) berdasarkan teori green light theory. Selanjutnya, fungsi ini berkembang lagi menjadi pelayan masyarakat (social service state).

Pada tahap ini, organ negara menjadi sangat besar dan cenderung bergerak lambat dalam menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, muncul konsep Reinventing Government untuk merampingkan negara sambil tetap menjalankan fungsi menjaga ketertiban, memberikan kesejahteraan, dan pelayanan. Cara yang digunakan berbeda dari teori sebelumnya, yakni dengan berbagi tugas dengan sektor privat dan masyarakat.[1]

Menurut David Osborne dan Peter Plastrik dalam bukunya “Cutting the Bureaucracy”, melakukan reinvensi terhadap pemerintahan memiliki arti:

“Perubahan fundamental atas sistem dan instansi pemerintahan, yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kemampuan untuk berinovasi.”[2]

Perubahan atau transformasi itu bisa diperoleh dengan mengubah tujuan, sistem, akuntabilitas, struktural, dan budaya dalam sistem dan instansi pemerintahan. Secara konkret, pembaharuan yang dilakukan adalah dengan menggantikan sistem birokrasi dengan sistem entrepreneurial (bisnis).

Hal ini dimaksudkan untuk menyiapkan pemerintah dalam menghadapi tantangan yang tidak lain adalah pelayanan masyarakat, sekaligus menciptakan instansi yang mampu memperbaiki ekektivitas serta efisiensi pada saat ini hingga masa yang akan datang.[3]

Menurut Mohammad (dalam Idris Yanto N, 2014:5), bahwa pemerintah wirausaha adalah pemerintah yang mampu menghadirkan kebijakan yang berorientasi pada warga negara. Kebijakan tersebut memiliki nilai strategis karena akan menghasilkan dividen yaitu berupa dukungan dari warga negara.

Untuk melakukan percepatan dan perbesaran dividen yang berupa dukungan dari konstituen adalah merupakan persaingan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan juga menghadirkan problem solving regulation, agar lembaga itu dapat memfokuskan pada tiga tugas utama, yaitu: Menanggapi keluhan warganegara dengan cepat, melakukan pemeriksaan rutin, serta menghukum para pelanggar aturan.

Tekanan utama pada entrepreneurial government adalah bagaimana berpikir strategis, yaitu memperluas perspektif dan memanfaatkan kreativitas yang bertanggung jawab. Di samping itu, wirausaha adalah pemerintah yang tidak sekadar mampu menghasilkan ide-ide yang cemerlang tetapi juga diiringi kemampuan untuk mewujudkan ide-ide tersebut.

Pemerintah yang mampu dan mau mengambil risiko yang terukut dan mampu menjelaskan langkah yang dianggap aneh dan inovatif.[4]

Prinsip-prinsip Teori Reinvensi oleh David Osborne dan Ted Gaebler

Sejalan dengan perkembangan konsep pemerintahan, terkait dengan fungsi negara untuk menjaga ketertiban, memberikan kesejahteraan, dan memberikan layanan kepada masyarakat, maka ketersediaan regulasi dan aturan hukum dalam bidang pelayanan publik serta peran Pemerintah sebagai pelaksana pengendalian ketertiban umum atas layanan masyarakat membutuhkan cara pandang baru agar masyarakat dilibatkan dalam penciptaan layanan tersebut.

Pada masa Orde Baru, Pemerintah berperan sebagai pihak yang paling mengetahui kebutuhan masyarakat. Dalam perkembangannya, Pemerintah tidak lagi dapat bertindak secara otoritarian. Sistem sosial harus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, termasuk pemerintahan Indonesia.

Paradigma baru kemudian diperkenalkan bahwa Pemerintah harus beradaptasi dalam mencapai tujuan negara, yaitu dengan reinventing government.[5] David Osborne dan Ted Gaebler, dalam karyanya yang monumental “Reinventing Government, How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector”, mengungkapkan bahwa prinsip-prinsip pemerintahan wirausaha dalam upaya mereinvensi pemerintahan, yaitu:[6]

1. Pemerintahan Katalis: Mengarahkan Ketimbang Mengayuh (Catalytic Government: Steering Rather Than Rowing)

  • Memisahkan fungsi “pengarah” (kebijakan dan regulasi) dan fungsi “mengayuh” (penyediaan layanan dan kepatuhan).
  • Peran pemerintah lebih sebagai fasilitator daripada langsung melakukan semua kegiatan operasional.
  • Metode yang digunakan termasuk privatisasi, izin usaha, konsesi, kerja sama operasional, kontrak, voucher, insentif pajak, dan lain-lain. Pemerintah harus menyediakan berbagai layanan publik, tetapi tidak harus secara langsung terlibat dalam proses produksi. Pemerintah berfokus pada memberikan arahan, sementara produksi layanan publik dibiarkan kepada sektor swasta atau pihak ketiga. Pemerintah hanya memproduksi layanan publik yang tidak dapat disediakan oleh pihak non-publik.

2.Pemerintah Milik Masyarakat: Memberi Wewenang Ketimbang Melayani (Community-Owned Government)

  • Mendorong mekanisme kontrol untuk layanan yang independen dari birokrasi dan diserahkan kepada masyarakat.
  • Masyarakat dapat lebih kreatif dalam memecahkan masalah.
  • Mengurangi ketergantungan masyarakat pada pemerintah. Dengan prinsip ini, pemerintah harus memberikan otoritas kepada masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang mampu membantu dirinya sendiri.

3. Pemerintahan yang Kompetitif: Menyuntikkan Persaingan ke Dalam Pemberian Pelayanan (Competitive Government: Injection Competition Into Service Delivering)

  • Penyedia layanan harus bersaing dalam bisnis berdasarkan kinerja dan harga.
  • Persaingan adalah kekuatan mendasar yang tidak memberikan pilihan lain yang harus diambil oleh organisasi publik.
  • Layanan publik yang dilakukan oleh Pemerintah tidak bersifat monopoli tetapi harus bersaing.
  • Masyarakat dapat memilih layanan yang mereka sukai. Oleh karena itu, layanan harus memiliki alternatif. Persaingan adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sambil meningkatkan kualitas layanan. Dengan adanya persaingan, banyak layanan publik dapat ditingkatkan tanpa harus meningkatkan biaya.

4. Pemerintah yang Digerakkan oleh Misi: Mengubah Organisasi yang Digerakkan oleh Peraturan (Mission-Driven Government: Transforming Rules-Driven Organizations)

  • Secara internal, dapat dimulai dengan menghapus peraturan internal dan menyederhanakan sistem administrasi secara radikal.
  • Penting untuk mempertimbangkan ulang visi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.
  • Misi pemerintah harus jelas dan Undang-Undang serta peraturan tidak boleh bertentangan dengan misi tersebut. Apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh Pemerintah diatur dalam mandatnya. Tujuan Pemerintah bukanlah mandatnya, tetapi misinya.

5. Pemerintahan berorientasi pada hasil (Result-Oriented Government: Funding Outcomes)

  • Berupaya untuk mengubah bentuk insentif dan penghargaan: mengalokasikan keuangan berdasarkan hasil dan bukan input.
  • Mengembangkan standar kerja, yang mengukur seberapa baik kemampuan dalam memecahkan masalah.
  • Semakin baik kinerjanya, semakin banyak dana yang dialokasikan untuk menggantikan dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.

6. Pemerintahan berorientasi pada pelanggan (Customer-Driven Government: Meeing The Need of The Customer, Not The Bureaucracy)

  • Identifikasi pelanggan yang sebenarnya.
  • Layanan masyarakat harus didasarkan pada kebutuhan nyata, dalam arti apa yang diminta oleh masyarakat.
  • Badan pemerintah harus responsif terhadap perubahan kebutuhan dan selera konsumen.
  • Penelitian perlu dilakukan untuk mendengarkan para pelanggan mereka.
  • Penting untuk menetapkan standar pelayanan kepada pelanggan.
  • Pemerintah perlu merancang ulang organisasi mereka untuk memberikan nilai maksimal kepada pelanggan mereka.
  • Menciptakan akuntabilitas ganda (masyarakat dan bisnis, serta DPR RI dan pejabat).

7. Pemerintahan Wirausaha (Entreprising Government: Earning Rather Than Spending)

  • Pemerintah wirausaha memusatkan energinya tidak hanya pada pengeluaran (menghabiskan uang) tetapi juga pada penghasilannya.
  • Dapat memperoleh biaya yang dapat diperoleh dan dibayar oleh pengguna serta biaya dampak; pendapatan dari investasi dan dapat menggunakan insentif seperti dana usaha (swadana).
  • Partisipasi sektor swasta perlu ditingkatkan agar dapat mengurangi beban pemerintah. Contoh implementasinya:
  • Dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, misalnya: BPS dan Bappenas dapat menjual informasi tentang daerah mereka kepada pusat penelitian;
  • BUMN menjual barang dan jasa; dan
  • Memberikan hak untuk menggarap, termasuk modal dan lain-lain.

8. Pemerintah Yang Antisipatif (Anticipatory Government: Prevention Rather than Cure)

  • Bersikap proaktif.
  • Gunakan perencanaan strategis untuk menciptakan visi regional.
  • Visi membantu memanfaatkan peluang yang tak terduga, menghadapi krisis yang tidak terduga, tanpa menunggu perintah.

9. Pemerintahan Desentralisasi (Decentralized Government: From Hierarchy to Participatory and Team Work)

  • Perkembangan teknologi sangat maju.
  • Kebutuhan masyarakat dan bisnis semakin kompleks.
  • Banyak staf yang memiliki pendidikan tinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu:
  • Mengurangi otoritas melalui organisasi, dengan mendorong mereka yang berurusan langsung dengan pelanggan untuk mengambil keputusan lebih banyak (Pemindahan pengambilan keputusan kepada masyarakat, asosiasi, pelanggan, LSM).
  • Tujuan: Memfasilitasi partisipasi masyarakat dan menciptakan suasana kerja tim.
  • Pejabat yang berhubungan langsung dengan masyarakat (pekerja garis depan) seharusnya diberi wewenang yang sesuai. Karena wewenang yang diberikan akan memungkinkan koordinasi lintas fungsional di antara semua lembaga terkait.

10. Pemerintah Berorientasi Pasar (Market-Oriented Government: Leveraging Change Through The Market)

  • Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar, tidak mengawasi pemerintahan, tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar tidak merugikan masyarakat.
  • Lebih baik merestrukturisasi pasar untuk menyelesaikan masalah daripada menggunakan mekanisme administratif seperti penyampaian layanan atau regulasi, perintah dan pengendalian.
  • Tidak semua layanan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah itu sendiri.
  • Kebijakan publik harus mampu memanfaatkan mekanisme pasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
  • Partisipasi sektor swasta perlu ditingkatkan.

Definsi Reinvensi Lanjutan: Implementasi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang merupakan salah satu perwujudan konkret dari Pasal 33 UUD 1945, memiliki posisi strategis untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, sejauh mana BUMN mampu menjadi alat negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan bangsa tergantung pada tingkat efisiensi dan kinerja BUMN itu sendiri.

Jika BUMN tidak mampu beroperasi dengan tingkat efisiensi yang baik, pada akhirnya hal ini akan membebani keuangan negara dan masyarakat akan menerima layanan yang tidak memadai serta harus menanggung biaya yang lebih tinggi. BUMN berperan dalam memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan guna mencapai kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat.[7]

BUMN lahir sebagai mandat Pasal 33 UUD 1945, pembentukannya ditujukan untuk mewujudkan negara kesejahteraan (kesejahteraan rakyat). Oleh karena itu, manajemen BUMN harus mampu bersaing dan berjalan dengan adil, tidak kaku, efektif dan efisien, dengan strategi yang profesional dan kompetitif.

Sebisa mungkin, arah kebijakan tidak se-birokratis dan harus se-efisien perusahaan swasta pada umumnya. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa terdapat penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Kehadiran BUMN merupakan mandat dan konstitusi negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia sesuai dengan fungsi dan tujuan yang telah melekat pada BUMN tersebut. Dalam kerangka peraturan hukum di Indonesia, penggunaan istilah BUMN pertama kali diperkenalkan dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan BUMN, yang sebelumnya dikenal sebagai Perusahaan Negara (PN).[8]

Keberadaan BUMN dalam kerangka pembangunan ekonomi pada awal pemerintahan Orde Baru juga mendapatkan sentuhan yang cukup progresif.[9]

Langkah pertama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1969, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969. Melalui Perpu ini, jumlah BUMN dikurangi dari sekitar 822 menjadi 184 perusahaan.

Tujuannya jelas, untuk melakukan upaya efisiensi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969, BUMN dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) Perusahaan Jawatan (Perjan), (2) Perusahaan Umum (Perum), dan (3) Perusahaan Perseroan Terbatas (Persero).

Kemudian dalam praktiknya, sektor bisnis BUMN dibagi menjadi tiga bidang utama, yaitu (1) BUMN yang bertanggung jawab atas kepentingan umum (public utilities), termasuk perusahaan telekomunikasi, listrik, gas, kereta api, dan penerbangan; (2) BUMN yang bergerak di industri strategis vital, termasuk perusahaan minyak, batu bara, baja, perkapalan, dan otomotif; (3) BUMN yang bertugas dalam bidang bisnis.[10]

BUMN memiliki lima peran, yaitu peran Pertama, sebagai pilar pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua, berorientasi pada keuntungan, mencari laba untuk negara. Ketiga, melaksanakan fungsi layanan publik (public service obligation/PSO). Keempat, memulai usaha baru. Kelima, mendorong usaha kecil dan menengah serta koperasi.[11]

Berdasarkan jenis perusahaan BUMN, pada tahun 2019 terdapat 14 BUMN berbentuk Perum, 83 BUMN berbentuk Persero, dan 16 BUMN berbentuk Persero terbuka. Secara total, terdapat 113 BUMN pada periode tersebut, satu perusahaan lebih sedikit dibandingkan tahun sebelumnya.

Sebelumnya, pada tahun 2010 terdapat 141 BUMN,[12] dengan bidang usaha yang dikelompokkan ke dalam industri primer, industri strategis dan manufaktur, infrastruktur dan logistik, serta sektor bisnis jasa. Tentu saja, tidak semua pihak puas dengan kinerja BUMN.

Beberapa orang berpikir bahwa kinerja perusahaan “pelat merah” ini masih dapat ditingkatkan dengan berbagai program seperti efisiensi, sinergi antar BUMN, dan mendorong penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance).[13]

Saat ini, yang urgen adalah bagaimana menjadikan BUMN sebagai pilar untuk membangun ketahanan ekonomi nasional. Dalam hal ini, mengembalikan BUMN ke jalur yang benar, menjadikan BUMN benar-benar sebagai entitas korporat dan bukan entitas birokratis, yang merupakan makna dasar dari reinvensi BUMN.[14]

Penerapan teori reinvensi dari David Osborne dalam studi ini sesuai dengan fakta di lapangan, di mana Tanri Abeng, saat menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan BUMN, melakukan upaya restrukturisasi dengan memberdayakan BUMN untuk berorientasi pada profit.

Saat ini, reinvensi pada BUMN telah dirumuskan oleh Erick Thohir dengan merampingkan dan memanfaatkan BUMN sebagai manifestasi dari efisiensi dan efektivitas kinerja BUMN, dengan hanya menyisakan 40 perusahaan BUMN.

Dalam hal ini, birokrasi memainkan peran besar dalam pembangunan dan semakin menunjukkan tren yang tidak menguntungkan: Sulit ditembus; Sentralistik; dan hierarkinya sangat panjang. Birokrasi sebenarnya terlalu berbelit-belit, dan membunuh kreativitas.

Birokrasi dianggap mengganggu mekanisme pasar karena menciptakan distorsi ekonomi dan akhirnya menyebabkan ketidakefisienan organisasi. Era ketidakpastian, teknologi informasi yang canggih, tuntutan masyarakat, dan persaingan yang ketat membuat birokrasi tidak dapat bekerja dengan baik.

Dalam era globalisasi dan ekonomi berbasis pengetahuan, birokrasi perlu melakukan perubahan menuju profesionalisme birokrasi dan menekankan efisiensi, yakni dengan menerapkan reinvensi.[15]

Masalah yang dihadapi dalam menerapkan konsep reinvensi BUMN adalah bagaimana menerapkan konsep ini tanpa menimbulkan gesekan yang akan menghambat efisiensi dan efektivitas birokrasi.

Hal ini disebabkan karena konsep reinvensi hanya baru mencapai dimensi normatif, tetapi belum diuji secara empiris. Cara menemukan strategi praktis untuk mengadopsi prinsip-prinsip reinvensi ke dalam sistem dan mekanisme pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, melibatkan langkah-langkah berikut.

Pertama, diperlukan reformulasi regulasi BUMN. Langkah awal dalam reorientasi adalah redefinisi, yang berarti bahwa dalam sebuah Organisasi Publik, terutama yang dibahas di sini adalah bahwa BUMN harus mengalami redefinisi visi, misi, peran, strategi, implementasi, dan evaluasi. Langkah terakhir adalah restrukturisasi oleh BUMN.

Hambatan klasik yang dihadapi oleh BUMN seperti birokrasi, inefisiensi, dan lain-lain, seharusnya tidak menjadi penghalang bagi pemerintah untuk masuk ke industri-industri strategis. Pemerintah seharusnya memikirkan jalan keluar atau strateginya, yaitu bagaimana BUMN akan didorong untuk menjadi perusahaan yang juga dimiliki oleh publik, seperti Krakatau Steel dan Garuda Indonesia Airlines.

Dengan pemikiran ini, budaya birokrasi, struktur yang tidak efisien, dan tata kelola perusahaan yang buruk dapat dihindari sejak awal.[16]

Ada pun terkait tujuan, manfaat, dan arah kebijakan reinvensi yakni:

(1) Tujuan: Membuat BUMN menjadi perusahaan yang memiliki daya saing dan kreativitas tinggi sehingga diharapkan mampu unggul secara global; Meningkatkan ekonomi daerah dengan memperbaiki struktur pendapatan daerah; Mengejar ketertinggalan daya saing perusahaan; dan Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(2) Manfaat dari reinvensi BUMN meliputi: Mendorong proses penciptaan nilai, penciptaan nilai pasar, dan peningkatan nilai; Menggantikan manajemen kekurangan di anak perusahaan; Mengkoordinasikan langkah-langkah untuk akses ke pasar internasional; Mencari sumber pendanaan yang lebih murah; Mengalokasikan modal dan membuat investasi strategis; Mengembangkan kemampuan manajemen puncak. Dan

(3) Arah kebijakan untuk reinvensi BUMN meliputi: Restrukturisasi; Profitisasi; Privatisasi, dan yang paling penting reformulasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, khususnya yang mengatur efisiensi dan efektivitas BUMN sebagai perusahaan publik yang fundamental dan berkelanjutan.

Upaya untuk merampingkan jumlah BUMN dari 107 menjadi 40 perusahaan dengan 12 holding company di seluruh Indonesia harus diatur terlebih dahulu dalam undang-undang. Hal-hal yang perlu diatur mencakup orientasi, visi dan misi, strategi, merger, konsolidasi, akuisisi, pembubaran, dan hal-hal yang berkaitan dengan reinvensi termasuk menjadikan BUMN go public.[17]

Footnote

[1] Ali Mashuda, Ade Irawan Taufik, dan Ridha Nurul Ihsan, “Tinjauan Regulasi Tol Laut Berdasarkan Teori Reinventing Government,” Jurnal Rechtsvinding 8, no. 2 (Agustus 2019): 228.

[2] Gunawan Nachrawi, “Reformulation of BUMN Regulations: Reinvention Strategy for BUMN Empowerment for People Well-Being,” Awang Long Law Review 3, no. 2 (Mei 2021): 91.

[3] Nachrawi, 91.

[4] Idris Yanto Niode, Entrepreneural Goverment: Konsep & Riset (Gorontalo: UNG Press, t.t.), 6.

[5] Ali Mashuda, Ade Irawan Taufik, dan Ridha Nurul Ihsan, “Tinjauan Regulasi Tol Laut Berdasarkan Teori Reinventing Government,” 226.

[6] Niode, Entrepreneural Goverment: Konsep & Riset, 7.

[7] Gunawan Nachrawi, Reinventing BUMN Upaya Reinvensi Bagi Terciptanya Good Corporate Governance (Jakarta: Bidik Phronesis, 2020), 26.

[8] Prasetio, Dilema BUMN Benturan Penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam Keputusan Bisnis Direksi BUMN (Jakarta: PT Rayyana Komunikasindo, 2014), 77.

[9] James A. Caporaso dan David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Mata Pena Institut, 2008), 37.

[10] Bahrullah Akbar, BUMN dan Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: Prenadamedia, 2014), 11.

[11] Muchayat, Badan Usaha Milik Negara : Retorika, Dinamika Dan Realita (Menuju BUMN yang Berdaya Saing (Surabaya: Gagas Bisnis, 2010), xv.

[12] Nachrawi, “Reformulation of BUMN Regulations: Reinvention Strategy for BUMN Empowerment for People Well-Being,” 89.

[13] I Nyoman Tjager, Corporate Governance, (Jakarta: Prenhalindo, 2003), 17.

[14] Nachrawi, “Reformulation of BUMN Regulations: Reinvention Strategy for BUMN Empowerment for People Well-Being,” 90.

[15] Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN (Jakarta: PT Gramedia, 2008), 29.

[16] Nachrawi, “Reformulation of BUMN Regulations: Reinvention Strategy for BUMN Empowerment for People Well-Being,” 94.

[17] Nachrawi, 94.